Sanur, boleh jadi dikenal turis sebagai tempat tujuan wisata yang indah. Kawasan dengan hamparan lautnya, seakan menantang sang surya yang selalu setia terbit dari Timur. Tapi itu sekarang, dulu kawasan ini dikenal sangat angker dan penuh dengan nuansa magis.
Kesan angker sebagai kawasan ‘wisata niskala’ tampaknya tak akan pernah hilang dari memori setiap orang yang pernah mendengar ataupun mengalami keanehan di kawasan wisata ini. Kendati demikian, tak dapat dipungkiri bahwa sejarah telah merubah semuanya, kesan mistis yang dulu lekat kini pudar seakan ditelan suara debur ombak.
Sanur dengan hamparan pantainya yang luas, beberapa dekade lalu merupakan kawasan pelabuhan yang dalam bahasa Jawa Kuno disebut bangsal. Dikatakan Wayan Turun, kolektor lontar yang tinggal di kawasan Jl WR Supratman, Denpasar, Bali, kata Sanur dapat ditemukan dalam Prasasti Belanjong berangka tahun 835 Caka (903 Masehi). Nama desa Sanur ditulis saat Sri Kesari Warmadewa mengadakan penyerangan terhadap wilayah Alas Pategaling Magalak (Sanur) di bawah kekuasaan Ugrasena Raja Bali kala itu.
Dalam perkembangannya, kawasan ini dikuasai kaum Brahmana keturunan Danghyang Dwijendra. Para pendeta inilah yang kemudian melihat Alas Pategaling Magalak seperti bersinar sehingga disebut Sanur. Kawasan ini kemudian dijadikan tempat tinggal orang suci dan banyak pula yang menguasai ilmu leak. Sangat mendukung memang bila kemudian Sanur dikenal sebagai salah satu kawasan mistis dengan tokoh leaknya yang dikenal di seantero Bali, bahkan mungkin kata ‘leak Sanur’ terdengar hingga ke luar pulau dewata. Ini kalau dilihat dari energi yang dapat diberikan oleh laut pada para penekun spiritual.
Bahkan hingga kini pun pemanfaatan laut sebagai tempat untuk menggali dan memperdalam ilmu kanuragan kerap dilakukan oleh beberapa perguruan tenaga dalam di seputaran Denpasar. Tak hanya laut yang membentang luas, pura pun bertebaran di pesisir pantainya. Mulai dari Timur, kawasan Padanggalak ada pura Pura Segara Padanggalak, Pura Segara Sanur, Pura Dalem Kedewatan, Pura Giri Kusuma, hingga Pura Mertasari di ujung Selatan. Selain sebagai tempat menempa ilmu kadigjayaan seperti yang dilakukan oleh perguruan tenaga dalam tersebut, Sanur pun tak pernah sepi dari aktifitas ritual keagamaan, mulai dari melasti, ngayut atau melukat.
Kata angker masih sangat identik dengan kawasan yang dapat dikatakan terisolir ini, pasalnya jarang sekali ada orang yang berani menetap di kawasan Sanur. Namun kemudian pembangunan hotel berbintang lima pertama di Bali, Hotel Bali Beach oleh Presiden pertama RI, Ir Soekarno merubah total kesan angker tersebut. Hotel-hotel lain pun mulai dibangun seiring dengan berdatangannya wisatawan ke kawasan ini. Bahkan, investor pun mulai melirik bisnis Villa di kawasan Sanur. Bisnis Bali Villas, tak hanya ada di Sanur, namun menyebar juga di beberapa kawasan wisata Bali lainnya.
Kian hari Sanur kian padat, kesan angker itu seakan hilang tergerus debur ombak. Tokoh-tokoh leak yang dulu sangat terkenal di daerah ini pun seolah tenggelam oleh urban yang memenuhi desa yang dulu sepi oleh aktivitas manusia. Bisa dikatakan debur ombak dan mentari pagi yang menyajikan keindahan alam pesisir serta kemajuan jaman seakan ‘bersekongkol’ mengubah semua sejarah Sanur. Namun satu yang belum berubah dari desa ini, indahnya menyambut matahari pagi di pesisir pantai Sanur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H