Lihat ke Halaman Asli

[Merdeka] Catatan Hati Seorang Pemulung...

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_126053" align="aligncenter" width="300" caption="Ria, gadis pemulung berusia 19 Tahun"][/caption] Petang ini, pemandangan yang sama kembali kulihat dihalaman depan Apotek tempatku bekerja. Seorang gadis remaja yang mengenakan kaos lengan panjang berwarna orange, celana panjang coklat, topi hitam dan rambut yang dimasukkan kedalam topi yang ia kenakan, sepintas membuatnya terlihat seperti seorang anak laki-laki. Aku baru tahu kemudian setelah sebelumnya dia meminta izin untuk mengambil beberapa buah kardus yang diletakkan dekat tempat sampah yang ada disamping apotek. Kardus – kardus yang sebenarnya telah dibuang oleh salah seorang rekanku. Sebenarnya jika ia langsung mengambil kardus itu pun aku sama sekali tidak akan tahu. Tapi rasa sungkannya membuatnya meminta izin terlebih dahulu padaku, pihak yang ia anggap sebagai pemilik kardus itu, sekalipun kardus – kardus itu telah berada di samping tempat sampah.

Hampir setiap hari aku melihatnya disekitar apotek, membawa sebuah karung besar yang ia gunakan untuk menyimpan barang – barang hasil memulungnya. Ya, gadis muda itu adalah seorang pemulung. Sekali pun tak pernah aku melihatnya menggunakan pakaian yang berbeda, selalu dengan kostum yang sama setiap harinya. Dan kebiasaannya itu membuat kami mudah mengenalinya. Entah apa yang menggerakkan kakiku, hingga sore kemarin tiba – tiba saja aku sudah berada disamping gadis itu, yang saat itu sedang sibuk membereskan barang – barangnya, memindahkan dari karung yang satu ke karung yang lainnya lagi. Karung – karung yang sudah berisi barang – barang hasil memulung ia letakkan di halaman depan sebelah kiri ruko tempat apotekku berada.

[caption id="attachment_126054" align="aligncenter" width="300" caption="Tumpukan karung berisi barang - barang hasil memulung Ria"][/caption] [caption id="attachment_126055" align="aligncenter" width="300" caption="Duduk beristirahat diatas tumpukan karungnya."][/caption] [caption id="attachment_126056" align="aligncenter" width="300" caption="Berbincang, sambil tetap membereskan barang - barangnya."][/caption]

“Ada apa ya?” tanyanya begitu melihatku berdiri disamping salah satu karungnya. Ada kekhawatiran yang sepintas kulihat dari raut wajahnya.

“Gak ada apa – apa kok mba, cuma mau ngobrol aja sama mba” ucapku sambil tersenyum.

“Dapet banyak ya mba hari ini?” tanyaku sambil melongok ke dalam salah satu karung yang saat itu sedang ia bereskan. Karung itu berisi aneka barang yang mungkin bisa dijualnya, kardus bekas, plastik, kertas coklat tebal, beberapa utas tali plastik, gelas minuman air mineral, dan beberapa barang lainnya.

“Alhamdulillah mba lumayan dapetnya, apalagi pas puasa” jawabnya sambil terus membereskan barang – barangnya. Saat kutanya siapa namanya, ia tak langsung menjawabnya.

“Nama saya mah jelek mba”.

“Loh kenapa, bukannya nama itu doa pemberian orang tua ya?” tanyaku lagi.

“Iya mba, tapi menurut islam arti dari nama saya gak bagus mba” jelasnya

“Emang namanya siapa mba?” kembali aku mengulang pertanyaanku.

“Ria” jawabnya singkat.

“Oohh… sombong yah artinya kalau saya gak salah” ucapku. Ia hanya tersenyum, dan mengatakan bahwa dia berniat mengganti namanya dengan yang lebih baik artinya.

Ria, gadis berusia 19 tahun itu sudah hampir 2 tahun ini memulung disekitar apotek tempatku bekerja. Sebelumnya dia hanya memulung tak jauh dari tempatnya tinggal. Tak jauh dari jejeran ruko lokasi apotekku berada, terdapat sebuah pasar yang lumayan besar. Biasanya Ria memulung di sana. Banyak pemilik kios yang sudah menyisakan barang – barang bekasnya untuk Ria.

“Ada yang suka nyisain plastik, kardus bekas, ya pokoknya apa aja lah yang kira – kira bisa laku saya jual” jelasnya.

Ria tinggal bersama ke tujuh orang adiknya dan seorang Ayah tiri. Jangan Tanya tentang ibundanya, karena Ria sendiri tak tahu jawaban pastinya.

“Waktu dulu adek saya yang paling kecil pernah kena Step terus matanya kayak katarak gitu. Ibu katanya mau kerja, mau cari uang buat operasi matanya adek, tapi sampe sekarang gak pulang – pulang, sama sekali gak ada kabar mba”.

“Kerja dimana? Jadi TKW gitu ?” tanyaku lagi sambil terus memperhatikannya yang masih sibuk dengan jejeran karungnya.

“Gak tau mba, ada yang bilang Hongkong, Arab, apa Malaysia, saya juga gak tau mba, gak pernah ada kabar”. Bahkan sejak kepergian sang Ibunda di tahun 2004 itu, sama sekali belum pernah ada kiriman uang yang sampai pada mereka. Di hari – hari puasa seperti saat ini, Ria dan adik pertamanya biasanya baru pulang pada pukul Sembilan malam. Padahal biasanya di hari – hari biasa mereka memulung hanya sampai maghrib. Ria dan adiknya baru keluar dari rumah pukul setengah dua siang, sementara paginya mereka membereskan barang – barang hasil memulung di hari sebelumnya. Ria sebenarnya hanya memiliki satu orang adik kandung, dan sisanya semua adik tirinya dari tiga orang Ayah yang berbeda.

Ria, gadis itu sudah merasa sangat cukup dengan apa yang dia peroleh. Tak hendak dia meminta pada Tuhan pekerjaan lain yang lebih layak.

“Dulu pernah jadi pengasuh anak mba, tapi cuma tahan 6 bulan doang, gak enak kayak dipenjara gak bisa kemana – mana” jawabnya saat kutanya tentang pekerjaannya sebelum menjadi pemulung.

“Gak mau nyoba kerjaan lain?” tanyaku lagi.

“Sama aja mba, percuma kalo duitnya gak dipegang sendiri” jawaban yang membuatku sedikit terkejut. Dan keingin tahuanku kembali berlanjut. Ria mengatakan bahwa sang Ayah tirinyalah yang menjual semua barang – barang hasil memulung. Ria hanya diberikan uang 10 ribu rupiah yang harus cukup selama 1 minggu. Membayangkan uang 10 ribu rupiah yang harus cukup selama 1 minggu?? Waw, bagiku tentu hal yang sangat mustahil bisa cukup. Tapi begitulah Ria, dia merasa cukup dengan pemberian Ayahnya atas semua usahnya setiap hari. Ria dan adik pertamanya yang berusia 17 tahun hanya lulusan SD. Dan saat kutanya apakah dia ingin adik keduanya yang saat ini duduk dibangku kelas 5 SD bisa bersekolah lebih tinggi, begini jawaban yang kudapat.

“Adek saya yang itu kayaknya otaknya agak ‘bebel’ mba, nilainya jelek – jelek terus, kalau saya suruh belajar susah, saya sih mau aja kalau dia bisa lebih pinter dari saya” jawab Ria.

Kemerdekaan yang katanya sudah 66 tahun dikecap oleh Negeri kita tercinta ini, rupanya masih belum dinikmati benar oleh sebagian besar penduduknya. Terjajah oleh kebodohan, terjajah oleh kemiskinan, terjajah oleh ketidak berdayaan, dan masih banyak lagi bentuk penjajahan yang lainnya. Bahkan mungkin seperti Ria, disadari atau tidak haknya untuk mendapatkan hasil yang setimpal dari apa yang telah dikerjakannya sama sekali tak pernah ia perolah. Semua hasil memulungnya dikuasai oleh Ayah tirinya. Bentuk lain dari penjajahan yang lebih halus. Padahal pemerintah sendiri yang telah menjamin kemerdekaan tiap penduduknya di segala bidang dan segi kehidupan. Tapi perjuangan masih harus terus dilakukan, sekalipun para pendahulu kita telah meneriakkan MERDEKA secara lantang 66 tahun lalu.

Ria, kesederhanaannya mengajarkan tentang pentingnya rasa bersyukur, ketegarannya mengajarkan tentang semangat, kesabarannya mengajarkan tentang ikhlas… Semoga akan ada masa depan yang lebih baik untuk Ria, ketujuh orang adiknya, dan seluruh anak di Indonesia yang masih belum bisa menikmati ke-Merdekaan secara utuh.

*********** @@@@@ ***********

Sebuah catatan dari halaman depan Apotek...

Selamat menunaikan ibadah puasa sahabat, dalam nikmat kemerdekaan... ^_^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline