Lihat ke Halaman Asli

I Dewa Nyoman Sarjana

profesi guru dan juga penulis.

Apa Salahku Dilahirkan

Diperbarui: 4 Agustus 2023   08:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(CERPEN) APA SALAHKU DILAHIRKAN
DN Sarjana

Perempuan itu duduk termenung. Entah deburan ombak keberapa dia tetap tak beranjak. Dia tidak hirau keramaian pengunjung. Kedua kakinya menjulur ketepian tebing. Sesekali air laut membasahi kakinya. Suara ombak terpecah karena benturan batu karang, tak juga meluluhkan lamunannya. Beruntung daun ketapang memayungi wajahnya yang sedikit memerah karena sinar mentari menyusup dari daunnya yang rimbun.

Senja di pantai Batu Bolong sudah tampak. Matahari sebagian  menyelinap dibalik batu karang. Orang-orang bergegas meninggalkan pantai. Air laut  terasa makin dingin. Seorang lelaki memakai kamben, berbaju putih penuh tatap memperhatikan perempuan yang sedari tadi masih belum berpindah dari tempat semula. Lelaki berambut putih, mungkin usianya sudah memasuki kepala tujuh, tidak tega membiarkan perempuan itu sendiri. Pelan-pelan dia menghampiri. Sambil memastikan perempuan itu masih bisa diajak bicara.

"Gek, ini sudah mau malam. Baiknya bersiap pulang. Tempat ini sudah sepi". Belum sempat melanjutkan, perempuan itu menoleh dan tiba-tiba dia berdiri lalu menjerit, berlari kecil memeluk lelaki tua.
suara tangisnya pecah sesegukan, perempuan itu berkata histeris.

"Ajak tiang Bapa Mangku. Ajak tiang". Sepatah ucapan yang keluar, sambil menggoncang-goncang tubuh lelaki tua. Dia sangat terkejut. Tidak mengerti apa sesungguhnya yang terjadi pada perempuan ini. Ia mencoba  menenangkannya.

"Nak, tenang. Mohon hentikan tangismu. Bapa siap membantumu".Perempuan itu terus menatap Bapa yang ada di depannya.

"Terimakasih Bapa Mangku. Kalau tidak Bapa yang menolong, entah apa yang terjadi pada diri Gek. Mohon ajak Gek kerumah Bapa Mangku. Mohon Bapa". Perempuan itu memelas, sambil mengkatupkan kedua tangannya. Tatapannya tajam pada Bapa Mangku.

"Kalau itu permintaan nak, Bapa bersedia. Tapi Bapa jalan kaki. Rumah Bapa tidak jauh dari sini. Mari kita jalan. Minum air dulu. Ini Bapa bawa tadi dari rumah".

Begitulah malam sehari menjelang purnama, perempuan itu menjadi bagian dari keluarga Bapa Mangku Enjung dan Biang Mangku. Beliau dipanggil mangku Enjung karena jadi pemangku di Pura Enjung dipinggir pantai itu. Kehadiran Gek Dwi di rumah Jro Mangku disambut bahagia oleh keluarga Jro Mangku. Apalagi Biang Mangku. Beliau dari awal perkawinan pingin sekali memiliki anak perempuan. Namun takdir hanya memberikan dua anak laki, yang semuanya sudah berkeluarga. Mereka semua sudah punya rumah, ngarangin di tempat lain.
"Kayeh malu Gek. Biyang sudah siapkan makan malam. Yah, sekedar masakan orang tua di desa".

Gek Dwi memandangi Biang Mangku sambil tersenyum. Dia mengambil alat-alat mandi yang sudah disiapkan. Kasih sayang yang lama menghilang dari kehidupannya sangat dirasakan. Ini kehidupan yang lama menghilang dalam dirinya.

Tidak lama, Gek Dwi sudah keluar dari kamar mandi. Wajahnya kelihatan berseri. Biang mangku mendananinya. Disisirnya rambut perempuan itu, seperti anaknya sendiri. Wajar saja, karena sebagai seorang perempuan yang merindukan kehadiran anak perempuan, merasa terobati Biang Mangku terus mengajak Gek Dwi ke dapur mengambil makanan. Mereka bersama duduk di teras rumah sambil makan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline