Lihat ke Halaman Asli

I Dewa Nyoman Sarjana

profesi guru dan juga penulis.

Surat untuk Papa

Diperbarui: 20 Juli 2023   19:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar pixabay.com (gratis)

SURAT UNTUK PAPA
DN Sarjana

"Surat ini terpaksa aku tulis dan aku sebarkan di media on line, karena aku baru paham tentang kehidupan ini. Maafkan aku Papa, kalau Papa sempat membaca di media on line, dimanapun Papa berada. Aku hanya mau mengabarkan keadaanku bersama Mama dan dua adikku."

"Papa, kalau saja Mama tidak menceritakan peristiwa ini saat aku menginjak remaja, mungkin aku akan kebingungan bertanya kesana kemari siapa Papaku dan adik-adikku. Saat ini aku sudah kelas 3 SMP. Aku sudah remaja, sehingga aku mampu mengurai kata-kata dari perih pedih hati kami."

"Papa... Mama bilang semasih kami kecil-kecil, kami pernah menikmati kebahagiaan. Namun karena kami masih sangat kecil, hingga kenangan itu tidak melekat pada diriku, apalagi adik-adikku. Menurut Mama. Papa pernah menjadi pejabat di sebuah BUMN. Sampai umurku empat tahun, Papa memebuhi semua kebutuhan keluarga. Tapi karena Papa lupa diri, sampai-sampai Papa selingkuh dengan bawahan Papa. Mama sudah sering mengingatkan, tapi Papa sudah lupa diri.  Ini yang menyebabkan Papa dipindahkan jauh dari tanah kelahiran Papa. Mulai saat itu, Papa tidak memberikan nafkah kepada kami semua. Apalagi berharap Papa mau pulang. Bahkan Mama dan anak-anak menganggap Papa sudah tiada."

"Papa...tahu ndak penderitaan Mama menghidupi anak-anak Papa bertiga. Karena batas tidur di rumah perusahan berakhir, Mama harus kos di rumah kontrakan ukuran 4x4. Kami hidup berempat di kamar itu. Kamar itu sekalian digunakan untuk dapur. Sementara kamar mandi dapt bersama untuk dua kamar kontrakan. Dapatkah Papa membayangkan betapa sumpeknya kehidupan Mama dan anak-anakmu. Jam berapa anak-anakmu harus bangun biar bisa mandi sebelum berangkat sekolah?"

"Papa..., aku bangga punya Mama. Tapi lebih bangga lagi kalau Papa ada ditengah-tengah kami. Mungkin Tuhan sangat menyayangi Mama. Semasih aku dan adik-adik kecil, Mama sangat cekatan memberi kesempatan kami sekolah. Mama selalu menitipkan kepada tetangga untuk mengantar aku dan adik-adikku sekolah, karena Mama mulai pagi rela menjadi pelayan rumah tangga. Aku dan adik-adik harus rela hanya bertemu Mama di malam hari saja. Bisa Papa bayangkan bagiamana anak-anak Papa harus mandiri mulai dari makan, melaksanakan pekerjaan rumah tangga dan lain-lain."

"Papa..., disaat akhir tahun pelajaran seperti sekarang aku harus rela melepas masa depanku tidak dari pendidikan, karena aku harus berhenti sekolah. Papa pasti merasakan sakit hati anakmu. Tapi aku rela. Aku tidak ingin adik-adikku bernasib sama. Biarlah aku menjadi korban biar adik-adik bisa sekolah. Aku sudah diterima menjadi pelayan toko milik tetangga di tempat kos."

"Papa, kalau aku tulis semua cerita hidupku bersama Mama dan adik-adik, mungkin semalam tidak akan habis terbaca. Atau mungkin Papa tidak akan membacanya. Tapi aku, adik dan Mama percaya Papa masih ada. Maafkan anakmu menuliskan peristiwa ini. Tidak ada maksudku mengungkit masa lalu. Kalau Papa sudah berbahagia teruskan saja. Aku, adik dan Mama sudah ikhlas menerima kenyataan hidup ini. Sekali lagi maafkan aku Papa."
"Dari anakmu Ririn."




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline