Beranda rumah memang terasa sempit. Ya memang sempit. Rumah ini luasnya hanya enam puluh empat meter persegi. Orang mengenalnya rumah murah bersubsidi. Sering juga dibilang rumah burung karena orang kaya membayangkan seperti seluas sangkar burung yang ada di rumah mereka. Ukurannya hanya 45 meter persegi, dengan dua kamar tidur. Satu kamar mandi dan teras depan.
"Kita duduk disini saja sayang. Sambil menimang bayi mungil".
Manisku tersenyum sambil menyusui buah hati. Sebagai seorang ibu, Saya memintanya untuk menjadi ibuk yang baik. Selama punya balita, saya tidak membolehkan bekerja di luar rumah. Cukuplah saya sebagai seorang ayah berusaha menutupi kebutuhan rumah tangga, walau sangat pas-pasan sisa cicilan rumah.
"Pa, bayi kita mungil ya". Kata istriku, sambal memberi air susu ibu. Aku tersenyum. Saya mewajibkan dia memberi air susu ibu. Saya sangat percaya air susu ibu jauh lebih baik dari susu buatan.
"Iya ma. Dia cantik kayak ibunya". Istriku tersenyum.
Mungkin sama ingatanku, ketika aku merayu dia pertama kali dipinggiran pantai Kuta. Entah angin mana yang mempertemukan kami di pantai indah dan disukai tamu mancanegara. Saat itu tidak terlalu sore. Aku ingin menikmati sun set pantai Kuta. Aku santai duduk di pasir putih, sambil memesan es kelapa muda. Tidak di nyana, perempuan manis berambut agak ikal hadir dan memesan es kelapa muda sama dengan diriku. Kasihan menyuruh dia berdiri lama, aku memberi kesempatan lebih dulu perempuan itu. Sambil mengambil es nya dia berucap.
"Makasi mas. Sudah memberi duluan".
"Sama-sama". Jawabku sambil memandangi
dia pergi dikejahuan. Aku tidak memberi mata ini lepas nelisik. Ternyata gadis itu berhenti dan duduk dibawah pohon waru. Tempatnya tidak jauh. Sekitar sepuluh meter diselatan. Karena hati sudah terpaut, kesempatan mengenal lebih dekat perempuan
itu tidak ku abaikan. Aku berdiri dan diam-diam mendekat. Pura-pura saja menerima telpon dan berhenti disamping perempuan manis. Aku santai saja duduk disampingnya.