Lihat ke Halaman Asli

Devy Rahmawatiii

Mahasiswa Universitas pamulang

Dimensi Sosial dalam Novel "Negeri Para Bedebah" Karya Tere Liye

Diperbarui: 16 Desember 2021   07:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Novel Negeri Para Bedebah karya Tere Liye menceritakan tentang seorang tokoh utama bernama Thomas. Thomas seorang konsultan keuangan yang terkemuka. Ia bekerja secara profesional, sehingga namanya terkenal di seluruh dunia. Rutinitasnya selain menjadi konsultan juga menjadi pembicara di acara berkelas. Rekam jejak pendidikan Thomas dan perusahaan yang dirintis secara profesional akhirnya banyak dikenal oleh kalangan pebisnis bahkan politikus. Thomas memiliki kecakapan ilmu, keberanian, lentur serta dapat mempengaruhi orang lain. Selain itu, tidak semua orang menyangka bahwa Thomas adalah petarung yang berisikan pembisnis, anggota pasukan khusus, serta para politikus dan pejabat berpengaruh. Masyarakat awam tidak akan pernah tahu bahwa di Jakarta dia memiliki klub petarung seperti yang ada di film action. Usia Thomas masih dapat dikatakan muda, berkisar 33 tahun. Walaupun demikian penghasilan yang banyak dapat dikatakan belum beruntung untuk urusan asmara, Thomas belum memilki kekasih bahkan istri.

Ternyata tidak semua orang yang sukses memiliki masa lalu yang indah. Itu tidak terjadi pada Thomas. Thomas memiliki masa lalu yang ingin ia lupakan. Masa lalu yang kelam. Thomas kehilangan kedua orang tuanya sekaligus dalam kejadian kebakaran di rumahnya. Kebakaran itu disengaja oleh orang-orang yang merasa dirugikan oleh usaha yang didirikan oleh om nya Thomas, yaitu om Liem, ketika itu, Thomas baru berusia 10 tahun. Saat ini Thomas menjadi orang terpandang, tidak ada yang tahu bahwa dia memiliki kerabat yang memilki usaha Bank Semesta. Bank Semesta yang kini menghadapi kondisi bangkrut. Pemilik dari bank tersebut tidak lain adalah om Liem, kerabat Thomas. Om Liem mengutus orang kepercayaannya mencari Thomas, yaitu Ram. Saat itu, terjadi pada hari Jumat malam hari.

Rumah dari om Liem dalam kondisi dikepung oleh para polisi. Om Liem tinggal dengan istri dan pembantunya. Saat Thomas di telepon kondisi tantenya saat itu sedang pingsan mendengar bahwa Om Liem akan masuk ke dalam penjara. Maksud Om Liem menacari Thomas untuk menjaga tantenya selama om Liem berada di penjara. Karena ia merupakan satu-satunya putra laki-laki yang ada di keluarga besar. Saat itu, Thomas sudah tidak ingin berurusan dengan Om nya itu, karena ia sangat membenci Om nya tersebut. Namun itu alasan kurang tepat untuk menolong Om nya tersebut.

Thomas berencana untuk membawa Om nya kabur dari rumah yang telah dikepung oleh pihak kepolisian. Jika om Liem tertangkap maka selesai sudah nasib Bank Semesta dalam hari itu juga. Karena pikir Thomas tanpa tanda tangan sang pemilik bank, maka bank tersebut tidak akan dibekukan. Thomas berpikir untuk membawa om Liem ke tempat persembunyian.

Setelah membiarkan om Liem di tempat aman, maka giliran Thomas untuk melakukan misi penyelamatan Bank Semesta. Thomas hanya memiliki waktu 48 jam  Rencana awal dengan mengundang beberapa media televisi hingga editor majalah untuk membantu keberhasilannya menyelamatkan bank tersebut. Dalam upaya menyelamatkan bank tersebut, Thomas menjadi salah satu buronan. Tidak hanya Thomas yang menjadi buronan, wartawan wanita yang telah mewawancarai dirinya di pesawat dari London pun juga, wartawan tersebut bernama Julia. 

Dalam novel Negeri Para Bedebah terdapat kata-kata ideologis yang diperjuangkan. Untuk dapat memaknai kata-kata ideologis yang sering digunakan. Kata-kata tersebut seperti data berikut.
Aku melompat, tanganku bergerak cepat hendak memukul Randy sekalian menguji apakah sarung tinjuku sudah sempurna mencengkeram. "Dasar bedebah! Ternyata kau yang sengaja menghambatku di loket imigrasi."(NPB, 2012:28)
Kata "bedebah" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti celaka (sebagai makian). Kata tersebut memiliki relasi makna ideologis dengan pejabat pemerintah yang dengan sengaja menggunakan kekuasaan dan wewenangnya. Kekuasaan dan wewenang tersebut tidak berdasarkan tugas yang diembankan melainkan pada ambisi pribadi. Kadang lebih pada kepentingan golongan ketika dibutuhkan. Justru yang lebih parah, ketika kekuasaan dan wewenang digunakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun golongan.
"Baiklah, jika ini yang ingin kau ketahui. Aku tidak akan menutupinya." Aku meremas rambut, setengah sebal menatapnya. "Om Liem melanggar banyak regulasi, itu benar. Dia ambisius, memanfaatkan banyak koneksi untuk memuluskan bisnisnya, dan begitu banyak kejahatan lainnya, itu benar. Dia jelas bedebah. Tapi aku baru semalam menyadari ada yang keliru dengan penutupan Bank Semesta. Ada bedebah yang lebih jahat lagi d luar sana. Om Liem sudah berjanji akan mengganti seluruh uang nasabah, tidak akan mengunyah satu perak pun uang mereka. (NPB, 2012:109)
Data tersebut menunjukkan bahwa bedebah yang dimaksud adalah pejabat pemerintah yang ingin menutup Bank Semesta yang dikelola oleh om Liem. Thomas ingin menyelamatkan bank tersebut demi harga diri, karena om Liem telah berjanji akan mengganti seluruh uang nasabah. Thomas menyadari jika om Liem memang salah dalam mengelola Bank Semesta dengan memanfaatkan kedekatan dengan para pejabat dan petinggi negeri ini, tetapi Thomas juga menyadari bahwa dalam hal ini om Liem yang dikorbankan hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan golongan oleh para pejabat tersebut.
"Jika itu terjadi, jika Bank Semesta akhirnya diselamatkan komite stabilitas sistem keuangan nasional, itu jelas akan menjadi skandal perbankan terbesar di negeri ini. Semua pihak, terutama media massa, LSM, lembaga, individu yang masih memiliki integritas akan menuntut dilakukan penyelidikan, diusut tuntas. Nah, sebelum itu terjadi, kita harus menyumpal sebanyak mungkin pihak terkait. Pejabat pemerintah, partai politik, petinggi institusi, kroni, teman, kolega, bahkan bila perlu pengurus organisasi olahraga, apapun itu. Semakin banyak yang menerima kucuran uang haram itu, maka jangankan melakukan penyelidikan secara sistematis dan besar-besaran, menggerakkan satu pion petugas penyidik saja mereka tidak kuasa. Seluruh penjara di negeri ini penuh dengan komisi pemberantasan korupsi berani mengutak-atik kasus penyelamatan Bank Semesta. (NPB, 2012: 255-256)
Kalimat-kalimat novel yang disuguhkan tidak berbeda dengan kalimat informatif yang memiliki fungsi memberi tahu untuk menguatkan pemahaman pembaca. Dalam perspektif ini, pembaca diajak menuju kesadaran betapa dunia politik di negeri ini tempat mereka tinggal sangatlah memalukan, memuakkan, menjijikkan, serta tidak ada kebanggaan bagi masyarakat Indonesia. Ditampilkanya susunan kalimat-kalimat langsung dalam novel ini sebagaimana kalimat gramatikal sangat mudah dipahami pembaca memberikan peluang pembaca untuk mengembangkan interpretasinya dengan muara membangun kebencian terhadap para pejabat pemerintah, partai politik, petinggi institusi, kroni, teman, kolega, bahkan pengurus organisasi olahraga yang masih bercokol, yang notabene sebagai calon orang-orang penting di negeri ini. Dikotomi 'ketidakadilan institusi" dibangun, sehingga memunculkan kebencian pembaca sebagai representasi sosial rakyat kolektif yang hidup menderita terhadap pengurus orpol yang hidup dalam kesewenang-wenangan.
Novel Negeri Para Bedebah lahir dari sebuah kekuatan masyarakat Cina yang merasa mempunyai solidaritas sosial. Mereka sangat terbuka jika ingin berbuat baik antara sesama, sampai mereka berpikir dan merasakan carut-marutnya pemerintahan di negeri ini akibat ulah para pejabat pemerintah, partai politik, petinggi institusi, seperti berikut ini.
...Aku melintasi meja imigrasi dengan mudah. Namaku dicekal, tapi aku kenal anak buah Randy yang menjaga loket-salah satu anggota klub petarung lainnya yang menjadi petinggi imigrasi bandara. Bahkan dua hari lalu aku juga berniat melarikan Om Liem ke luar negeri, tapi berubah pikiran, kembali turun dari pesawat..... (NPB, 2012: 403)
......Pidato petinggi partai di podium semakin hebat. Dia sedang semangat membahas visi kebangsaan, cita-cita partai segaris lurus dengan cita-cita pendiri negara. Peserta konvensi tampaknya semakin meneriakkan kata "Merdeka" di setiap akhir kalimat petinggi partai... (NPB, 2012: 327-328)
...Opini tentang penyelamatan Bank Semesta sudah ramai disebut-sebut oleh pengamat dan wartawan di berbagai media massa. Pertemuan dengan petinggi Bank Semesta dan lembaga penjamin simpanan sudah kulakukan. Audiensi dengan menteri sekaligus ketua komite stabilitas sistem keuangan sudah terjadi, bahkan pion terakhir, putra mahkota, sudah kuletakkan di atas papan permainan... (NPB, 2012: 388-389)
Kutipan data tersebut memberi informasi kepada pembaca oposisi biner antara petinggi dengan rakyat. Para petinggi dengan wewenang dan kekuasaannya seenaknya menentukan keputusan penting yang tidak berasal dari fakta dan bukti-bukti, sementara mereka para nasabah bank tidak diberikan kompensasi sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang ada. Nasabah yang notabene rakyat yang baik dianggap lemah, tetapi petinggi-petinggi pemerintah, partai politik, petinggi institusi menipu rakyat melalui penjaminan simpanan. Para petinggi boleh marah, tetapi Om Liem dan rakyat hanya bisa pasrah. Kemarahan Pengarang dilampiaskan ke dalam perlawanan literer dengan strategi penggunaan diksi yang ironi.
Dalam novel ini juga tampak adanya pertarungan ideologi pengarang dengan ideologi para petinggi negeri. Demokrasi yang dianut petinggi yaitu demokrasi transaksional, yang didasarkan jual-beli (alat tukar kepentingan). Keadilan sosial yang dianut penguasa yaitu keadilan sosial liberal. Di pihak lain, pengarang membela Om Liem dan rakyat yang berada pada posisi tertindas, menderita, dan tidak berdaya untuk melakukan perlawanan. Pertarungan ideologi tersebut, yang membangun wacana literer novel ini. Pertarungan sosial antar kelas ('rakyat' dengan 'para petinggi'), komunitas yang 'ditindas' dengan komunitas 'penindas' yang menjadi persoalan utama dalam novel ini. Kontradiksi antara yang dinikmati penguasa dan yang dialami rakyat. Hal itu merupakan ekspresi kemarahan pengarang dalam pemroduksian novel ini karena ketimpangan sosial dan ketidaktegasan pemimpin negeri ini. Pemimpin negeri ini tidak sejalan dengan sikap dan tindakannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline