Tanpa tanda jasa, salah satu kiasan cantik yang disematkan untuk seorang guru. Membaca kalimat itu saja, tergugah di benak bahwa guru seakan pahlawan yang dengan tulus, baik hati dan ikhlas dalam memberikan pengetahuan bagi murid-muridnya. Berjuang membekali ilmunya, tapi tidak mengenal balasan saja. Ah, entah itu memang kenyataannya atau sekedar hiperbola.
Saya sendiri seorang guru. Tentunya, saya juga pernah digurui. Sangat tidak mungkin, saya menjadi seperti ini tanpa pahlawan tanpa tanda jasa itu, apalagi yang paling berbekas di kenangan adalah guru yang paling ‘ditakuti’.
Mungkin pengalaman menjadi guru saat ini yang membuat saya secara tidak sengaja mengkomparasi dan bergumam, kenapa dulu Bu Guru dan Pak Guru harus galak?
Kembali ke 10 tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di bangku SMP. Matematika, adalah pelajaran yang paling saya senangi. Sayang sekali, opini saya berubah saat pertemuan pertama dengan Pak Guru itu. Salah sedikit saja, kepala dan perasaan saya jadi korbannya, entah itu dilempar dengan kapur sampai juga diomelin dan diejek yang menyinggung masalah fisik, keluarga, status sosial dan lain-lain.
Tidak hanya sampai di situ, 5 tahun setelahnya, saya duduk di bangku perkuliahan. Layaknya Déjà vu, ini terjadi lagi. Bahkan untuk berangkat ke kampus saja, perasaan saya selalu waswas. Takut salah, takut tidak bisa menjawab. Sang dosen itu seakan dewa yang tahu segalanya. Tidak boleh ada murid yang bertanya. Belajar dikelilingi rasa cemas dan takut. Bukankah itu justru memperlambat penyerapan pengetahuan? Atas pertimbangan apa dengan membuat siswa tertekan bisa membuatnya lebih cepat paham? Apakah belajar memang harus seram begitu?
Kini semua itu sudah menjadi bagian sejarah. Sejarah yang menjadi contoh untuk saya. Contoh untuk tidak akan pernah saya tiru!
Marah karena murid bodoh
Bagaimana definisi pintar? Bagaimana mengukur tingkat kecerdasan? Apakah orang yang pintar matematika bisa disandingkan dengan yang pintar bermain musik?
Inilah fenomena yang sangat menggelitik saya. Guru saya sebelumnya itu cepat sekali emosi hanya karena ilmu yang diberikannya tidak dapat ditangkap dengan baik oleh seluruh muridnya, dan berujung dengan marah, kekerasan verbal bahkan fisik. Tahukah mereka bahwa latar belakang intelejensi manusia berbeda-beda?
Pada tahun 1983, Howard Gardner meluncurkan buku Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Dalam bukunya beliau mengungkapkan bahwa intelejensi manusia dibagi menjadi 7 pilar yakni: Visual-Spatial (gambar secara visual), Bodily-Kinesthetic (bergerak secara aktif), Musical (suara dan ritme), Interpersonal (berinteraksi langsung dengan teman sekelasnya), Intrapersonal (belajar secara mandiri), Linguistic (dengan bahasa), Logical-mathematical (berdasarkan logika dan penghitungan).
Dengan bijak, Gardner menyarankan bahwa pembelajaran sampai saat ini hanya terbatas pada linguistik saja, dan mempertegas untuk memvariasikannya pada jenis intelejensi yang lain:
“Students learn in ways that are identifiably distinctive. The broad spectrum of students - and perhaps the society as a whole - would be better served if disciplines could be presented in a numbers of ways and learning could be assessed through a variety of means."