Lihat ke Halaman Asli

Tiga Kata Sakti yang Sering Terlupa

Diperbarui: 7 Agustus 2018   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.huffingtonpost.com

Kita terlalu sibuk berpacu dengan waktu, terlalu sibuk dengan segala peliknya hidup, dan terlalu bergegas pula mengejar impian. Sudah berapa kali kita menggerutu dengan segala penatnya aktivitas atau rasa putus asa yang kian menghampiri.

Sudah berapa kali pula kita membandingkan suatu kebahagiaan hanya dengan komparasi yang justru tidak sebanding, atau dengan sepotong gambar yang dipaksa terlihat menarik. 

Bahkan, sudah berapa kali kita melampiaskan kekesalan dan kekecewaan kepada orang yang kita sayangi. Orang-orang lugu dan tidak bersalah yang justru paling peduli dengan kita.

Penatnya hidup tidak hanya tentang itu. Seringkali kita lupa menghargai orang lain, jangankan menyapa, memasang senyum pun kita enggan, seakan hidup kita sudah seharusnya menjadi kisah yang paling suram atau diibakan. 

Seringkali pula kita lupa bahwa setiap orang pantas diperlakukan dengan baik, tanpa memperhatikan siapa. Seringkali pula kita lupa bahwa kita pantas menghargai dan memaknai diri sendiri, memberikan nilai diri yang sesuai, tanpa pernah menyepelekan kemampuan diri.

Sering kali kita lupa bahwa ada hal-hal kecil yang justru berdampak besar, yang justru memberikan rasa yang mendalam, yang justru menjalin keakraban lebih dekat.

Kata pertama adalah "tolong". Sudah berapa sering kita mengabaikan kata ini hanya karena merasa bahwa diri kita sendirilah yang paling sibuk. Sudah berapa kali pula kita meminta seseorang melakukan sesuatu dengan nada atau intonasi yang dibuat seakan tidak menghargai. Sudah berapa kali pula kita menyadari dan merenungkan hal itu?

Kata kedua adalah yang paling terlupa hanya karena egoisme dan rasa gengsi, yaitu, "maaf". Kita seringkali terlupa untuk meminta maaf jika berbuat kesalahan, atau memaafkan ketika orang lain berbuat salah. Memang, pada dasarnya manusia tidak ingin merasa disalahkan, merasa tersudut atau merasa terpojok. 

Sudah merupakan naluri kita untuk menjadi pemenang, bahkan dalam perdebatan kecil sekalipun. Serta sudah menjadi insting kita pula untuk melakukan pertahanan dan bahkan berdebat jika terus menerus disalahkan. 

Tanpa kita menyadari bahwa manusia sesungguhnya tidak akan pernah luput dari kesalahan. Segala tindakan dan keputusan yang diambil pasti ada sisi negatifnya, tetapi mengakui hal tersebut bukan menjadi pilihan, malah menyalahkan orang lainlah yang menjadi keharusan. Begitukah?

Dua kata terakhir yang tentu saja selayaknya diucapkan di akhir, "Terima kasih". Kedua rangkaian kata ini seringkali terlupa hanya karena kita menyepelekan kebaikan dan keikhlasan orang lain untuk meluangkan waktunya membantu kita. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline