Lihat ke Halaman Asli

Pengendalian Diri saat Nyepi, Hendaknya Dimulai dari Diri Sendiri

Diperbarui: 22 Maret 2018   14:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: Tribun Bali

Hari Raya Nyepi sebentar lagi akan dirayakan umat Hindu di Bali. Jatuh pada tanggal 17 Maret 2018, Tahun Baru umat Hindu ini selalu menjadi perayaan sakral yang ditunggu-tunggu. Dimulai dari parade ogoh-ogoh, hingga kesunyian total keesokan harinya, Nyepi juga berhasil memikat wisatawan untuk ikut merasakan suasana heningnya.

Perayaan ini sebenarnya sudah mulai diselenggarakan semenjak 78 Masehi. Pada saat Nyepi, umat Hindu diharuskan taat pada 4 hal (disebut dengan Tapa Brata Penyepian), yakni: Amati geni (tidak boleh menghidupkan api), amati karya (tidak boleh bekerja), amati lelanguan (tidak boleh bersenang-senang), amati lelungaan (tidak boleh bepergian). Sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini Nyepi memiliki cita rasa berbeda.

Selain berbarengan dengan perayaan Saraswati (atau hari turunnya ilmu pengetahuan), Nyepi kali ini semakin diperketat dengan berbagai aturan yang kian viral di sosial media. Pada surat edaran tersebut, diputuskan dan ditegaskan bahwa Nyepi harus dilaksanakan secara khusyuk. Memang, beberapa larangan sudah pernah dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya, seperti penyiaran radio dan televisi dimatikan. Kini, ada beberapa penambahan larangan seperti mematikan sementara provider internet, penawaran paket hiburan, serta menyalakan petasan atau pengeras suara.

Berbagai tanggapan dari masyarakat pun mulai bermunculan. Mereka sebagian besar menyoroti, mengapa internet ikut diputus?

Esensi dasar dari Nyepi sesungguhnya adalah pengendalian diri. Jika dilihat dari filosofinya, Nyepi memberikan kita (dan bumi) kesempatan untuk satu hari saja terlepas dari hiruk pikuk keduniawian. Meredamkan amarah, hawa nafsu, serta emosi yang ada pada jiwa.

Sekali lagi, pengendalian diri. Bukan, pengendalian faktor luar.

Seperti kisah Arjuna dalam pewayangan Mahabarata saat diasingkan di hutan. Arjuna yang diganggu oleh tujuh bidadari, tetap bisa mengendalikan dirinya dan bermeditasi dengan sempurna.

Jika dianalogikan, bidadari itu adalah segala hal keduniawian yang menganggu kekushyukan kita saat Nyepi, jadi seharusnya titik terpentingnya adalah bagaimana "diri kita sendiri" mengelola keinginan dalam diri kita.

Akankah jaminan dengan menyingkirkan segala bentuk hiburan akan memastikan bahwa seluruh umat menjaga kekhusyukannya?

Kenapa harus menyingkirkan bidadarinya kalau ternyata peran utamanya adalah pada "keinginan" umatnya?

Kenapa harus mematikan internet jika pada akhirnya umatnya kemudian mencari jalan lain untuk menyimpang dari Tapa Brata Penyepian?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline