Lihat ke Halaman Asli

Devita

Mahasiswa

Penggunaan Senjata Nuklir: Apakah Dapat Dihapus Atau Dapat Dibenarkan Secara Moral?

Diperbarui: 4 Juni 2023   21:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: dok Reuters 

Semejak kemunculannya pertama kali pada tahun 1945 yang dibuat oleh Proyek Manhattan oleh Amerika Serikat, serta peledakan senjata nuklir terhadap kota Hiroshima dan Nagasaki menyebabkan senjata nuklir telah menjadi salah satu titik balik utama dalam sejarah peperangan dan sejarah umat manusia. Senjata nuklir juga menjadi salah satu isu utama dalam topik keamanan internasional dan perdamaian. Dikarenakan senjata nuklir yang bersifat sangat destruktif, hal ini mampu memengaruhi politik domestik dan internasional. Kemudian yang menjadi awal dalam proyek pengembangan senjata nuklir yang dilakukan oleh Amerika Serikat selama Perang Dunia II. Dan merupakan awal dari perlombaan pengembangan senjata nuklir yang dilakukan oleh banyak negara, salah satunya Uni Soviet.

Adanya perbedaan ideologi antara Amerika Serikat dan Uni soviet inilah yang menjadi penyebab kedua negara ini melakukan perlombaan senjata nuklir. Perlombaan senjata nuklir antara kedua negara ini terus berlanjut sampai berakhirnya perang dingin. Akibat yang ditimbulkan karena adanya perang dingin adalah penimbunan senjata nuklir oleh kedua negara tersebut. Hal inipun menimbulkan ke khawatiran terhadap banyak negara. Oleh karena itu, penggunaan senjata nuklir di dunia ini dibatasi karena ditakutkan akan menimbulkan konflik yang berujung pada perang nuklir.

Berbicara mengenai senjata nuklir, tentunya banyak pertanyaan muncul mengenai senjata ini. Diantaranya adalah apakah apakah senjata nuklir dapat dihapus? Seiring dengan dampak besar yang ditimbulkan dari berbagai segi kehidupan dan apakah penggunaan nuklir  demi memenangkan suatu peperangan dapat dibenarkan secara moral? Hal ini pun menuai dilema tersendiri yang nantinya akan diapaparkan secara jelas dibawah ini.

Kemunculan bom atom fat man dan little boy pada peristiwa pengeboman di Kota Hiroshima dan Nagasaki membuat banyak pihak menentang adanya pembuatan dan penggunaan senjata nuklir, sehingga mulai bermunculan perjanjian-perjanjian yang membatasi dan menentang adanya senjata tersebut. Salah satunya adalah Perjanjian Nonproliferasi Nuklir atau Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), yang berisi tentang pembatasan kepemilikan senjata nuklir. Terdapat tiga pilar utama dalam Perjanjian Nonproliferasi Nuklir terkait komitmen perlucutan senjata nuklir, non-proliferasi dan penggunaan bahan nuklir untuk tujuan damai. Perjanjian ini ditandatangani oleh 187 negara berdaulat pada tahun 1968 dan mulai berlaku pada tahun 1970 (Gartzke & Jo, 2009).

Dan untuk mengatasi ancaman senjata nuklir terhadap keberlangsungan peradaban manusia, pada Januari 1946, Sidang Umum Pertama PBB mengadopsi resolusi pertamanya, yakni sebuah tindakan yang menyerukan penggunaan energi atom secara damai dan penghapusan senjata atom dan senjata pemusnah massal lainnya. Kemudian PBB juga mendorong semua negara yang memegang teknologi nuklir untuk menandatangani Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir atau Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty (CTBT). Perjanjian ini melarang semua kegiatan peledakan nuklir dalam semua lingkungan baik untuk tujuan militer maupun sipil. Perjanjian ini berhasil dirampungkan pada Juni 1996 di Konferensi Perlucutan Senjata di Jenewa, namun baru dapat diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 September 1996.

Kemudian pada tahun 2017, dibuatlah Traktat Pelarangan Senjata Nuklir atau Treaty on the Prohibition on Nuclear Weapons (TPNW). Tujuan dibentuknya TPNW ini adalah pemusnahan total senjata nuklir yang mengancam perdamaian dunia. Tidak hanya melarang pengembangan, uji coba, pertukaran, penggunaan, dan penyimpanan senjata nuklir bagi negara anggota, tapi juga melarang mereka untuk menjadi ‘host’ bagi negara lain untuk melakukan aktivitas serupa. Selain itu, TPNW juga mengatur kewajiban negara untuk membantu korban yang terdampak oleh aktivitas nuklir, dengan cara memberikan jaminan kesehatan, psikologis, serta tunjangan ekonomi.

Keberadaan NPT, CTBT, dan TPNW mendorong adanya penghapusan penggunaan senjata nuklir di dunia. Terutama TPNW yang memiliki tujuan untuk memusnahkan senjata nuklir secara total. Tujuan dari TPNW ini juga didukung karena adanya pandangan negatif atas penggunaan senjata nuklir yang diakibatkan oleh latar belakang sejarah yang kelam. Seiring berjalannya waktu, senjata nuklir mulai kehilangan status politisnya dan membuat kebutuhan akan senjata tersebut semakin menurun. Sehingga harapan dari dibentuknya TPNW ini dapat terwujud, yiatu penghapusan penggunaan senjata nuklir secara total.

Terlepas dari hal ini, terdapat perdebatan lainnya mengenai apakah penggunaan senjata nuklir demi memenangkan perang dapat dibenarkan secara moral?

Beberapa ahli berpendapat tentang nuklir melaui berbagai pandangan sebagai berikut, dari sudut pandang realisme, penggunaan senjata nuklir digunakan sebagai alat untuk mencapai balance of power oleh suatu negara. Kenenth Waltz dalam artikelnya yang berjudul “The Spread of Nuclear Weapons: More May Be Better”  tersebut menyatakan ketika terjadi proliferasi senjata nuklir secara perlahan di berbagai negara maka yang akan terjadi adalah kestabilan, bukan perang nuklir seperti yang digaungkan sebelumnya (Waltz, 1981).

Namun terdapat konsep nuclear deterrence, yaitu jika sebuah negara menyerang negara yang memiliki senjata nuklir, maka negara tersebut akan membalas negara tersebut dengan menggunakan senjata nuklir yang akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar terhadap negara tersebut. Dengan adanya pemikiran ini maka, suatu negara tidak akan berani menyerang duluan suatu negara yang memiliki senjata nuklir. Dalam hal ini, secara tidak langsung adanya pembenaran moral dalam pengunaan senjata nuklir, dimana digunakan untuk mempertahankan sebuah negara dari ancaman ataupun perang. Akan tetapi hal ini tidak seharusnya dibenarkan, dimana terdapat realita yang jelas dalam peristiwa Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 yang mengambarkan seberapa kejamnya senjata nuklir menghancurkan kehidupan manusia. Momen di mana kehidupan yang aman dan damai menjadi ancaman.

Kita harus menanamkan sense of moral terhadap senjata nuklir dan istilah "pencegahan", yang merupakan kata bersih untuk pembunuhan massal yang membabi buta dan masif. Secara ilmiah, ancaman nuklir merupakan kemajuan besar dalam perlombaan kuno antara yang baik dan yang jahat. Di sini para uskup (pimpinan gereja) ikut andil dimana mereka tidak hanya menghadapi masalah moral klasik di zaman kita, tetapi hampir tidak ada preseden moral teologis di bidang referensi mereka. Mereka hanya menggunakan dua kemungkinan preseden teologis yaitu teologi perang yang adil dan damai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline