Lihat ke Halaman Asli

Devira Sari

Psikolog Klinis

Sometimes Love Just Ain't Enough

Diperbarui: 30 Juni 2021   10:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi Pribadi

Saya ingin bercerita tentang kisah yang diceritakan dalam salah satu lagu lawas favorit saya. Liriknya dalem. Lagu ini dinyanyikan oleh duet Patty Smyth dan Don Henley. Judulnya "Sometimes Love Just Ain't Enough".

Dari judulnya saja, tentu sudah dapat ditebak bahwa ini adalah lagu tentang cinta. Lebih tepatnya lagu ini menceritakan tentang perpisahan dengan orang yang dicintai. Namun, ini bukan cerita perpisahan yang mainstream. Berpisah karena kekerasan dalam rumah tangga, wajar. Berpisah karena tidak cinta atau cinta sudah habis, biasa. Berpisah karena perselingkuhan, apalagi ini paling cepat viral. Perpisahan selalu identik sebagai solusi dari hubungan yang kosong, penuh penghianatan dan abusive.

Lagu ini berbeda. Bercerita tentang dua orang yang saling sangat mencintai tetapi memilih untuk berpisah. Loh, saling cinta dan cintanya sama-sama besar, koq malah berpisah? Kalau berpisah pasti karena hubungannya menyakitkan lah. Pasti ini kisah cinta buta, bucin, irasional. Awalnya memaklumi sifat buruk pasangan, lama-lama baru terasa nyeseknya. Lalu memutuskan untuk berpisah setelah babak belur parah. Masa iya lagi sayang-sayangnya terus cerai? Rasanya tidak mungkin ya.

No, justru pasangan yang dikisahkan dalam lirik lagu ini sangat rasional. Ini adalah dua orang DEWASA yang saling mencintai dan mengambil jalan perpisahan sebagai solusi logis, demi kebaikan bersama. Lebih tepatnya kebahagiaan orang yang dicintai. Solusi logis seperti apa yang bisa membuat orang yang saling mencintai memilih berpisah?

Nah, pada dasarnya ketika dua orang dewasa yang saling mencintai pasti menginginkan kebersamaan. Lebih dari kebersamaan, kita menginginkan kebahagiaan bagi orang yang  kita cintai. Lalu kita mulai merajut rencana-rencana dan mimpi-mimpi bersamanya.

Namun, terkadang kebersamaan malah melahirkan penderitaan. Jika bersama, maka masa depan masing-masing akan suram. Jika bersama, maka sama-sama harus mengorbankan mimpi-mimpi dan kesempatan yang terbuka lebar di depan mata. Jika dipaksakan bersama akan saling melukai, tidak bisa menjadi diri sendiri, dan saling menghambat perkembangan pribadi.

Kita tidak ingin kehilangan, tetapi juga tidak ingin memanfaatnya hanya untuk kepentingan sendiri. Tidak ingin memaksanya berubah, tetapi kalau tidak berubah maka akan bentrok terus. Tidak ingin meninggalkannya, tetapi kita tahu setiap hari kita menyakiti hatinya. Maka kita memutuskan untuk berpisah setelah struggle dengan berbagai pertimbangan. Bukan karena egois. Justru keputusan ini diambil setelah memikirkan kebaikan bersama. Sama-sama sudah memahami konsekuensi keputusan ini, menerima kondisi yang terjadi, dan memutuskan melanjutkan kehidupan masing-masing dengan lapang dada.

Cinta seperti ini tidak hanya terjadi pada relasi pasangan romantis saja. Relasi antara orang tua dan anak atau relasi persahabatan atau relasi lainnya yang didasari perasaan yang tulus. Ketika kita mencintai seseorang dengan tulus, siapapun dia, kita pasti menginginkan yang terbaik untuknya. Meskipun itu berarti kita tidak bisa bersamanya dan akan melukai diri kita sendiri.

Ada sejoli yang sudah berpacaran selama sembilan tahun tetapi memutuskan untuk tidak melanjutkan ke jenjang pernikahan. Bukan karena cintanya sudah habis atau karakternya tidak klop, melainkan karena mereka sadar jika hubungan ini dilanjutkan maka banyak hal yang akan dikorbankan dan banyak hati yang akan tersakiti. Mimpi yang bertolak belakang, restu orang tua yang sulit didapat, status sosial yang tidak selevel, hingga perbedaan agama. Mereka pun berpisah dan menikah dengan pilihan masing-masing.

Ada pula pasutri menjalani proses perceraian dengan sama-sama menangis lirih. Orang-orang yang menyaksikan keheranan mengapa dua orang yang memiliki perasaan sebegitu dalamnya memilih bercerai? Ternyata pihak keluarga suami ingin punya keturunan sementara si istri tidak dapat memberikannya. Si istri juga tidak tahan jika dipoligami dan tidak mau suaminya menjadi anak durhaka. Si suami tidak ingin menceraikan istrinya, tetapi juga tidak ingin melawan orang tuanya. Keputusan itu dipilih sebagai solusi terbaik bagi mereka.

Seorang ibu melepaskan anak semata wayangnya untuk diadopsi orang lain. Bukan karena si ibu tidak sayang anaknya, bukan pula si anak tidak mau bersama ibunya. Namun, pilihan itu diambil dengan mempertimbangkan masa depan si anak. Perpisahan mereka pastilah sangat berat, tetapi itulah jalan yang terbaik. Jika si ibu egois dan keukeuh mendekap anaknya padahal dia tahu bahwa dia tidak dapat memberikan kehidupan yang layak bagi si anak, maka anaknya tidak akan menjadi apa-apa. Hidupnya akan menderita karena menjalani kehidupan yang sama kerasnya dengan kehidupan si ibu. Nanti kalau si anak sudah dewasa dan sukses, dia dapat mengunjungi ibu kandungnya di kampung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline