Lihat ke Halaman Asli

Devira Sari

Psikolog Klinis

Bullying dalam Keluarga

Diperbarui: 2 September 2020   17:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Pernahkah Anda bertemu dengan orang yang berusaha sangat keras dan punya banyak prestasi namun terlihat minder, selalu merasa kurang dan bodoh, sangat mengejar kesempurnaan sampai menyakiti diri sendiri, bahkan sampai depresi? 

Pernahkah Anda bertemu orang yang aslinya sudah cantik namun dirinya terus mengatakan bahwa dirinya jelek dan rela mengeluarkan banyak uang untuk perawatan kecantikan yang sebenarnya tidak dibutuhkannya (misalnya, operasi plastik)? Atau pernahkah bertemu orang dengan banyak bakat namun tidak mau mengembangkan bakatnya karena merasa apa yang dikerjakannya tidak bagus dan sia-sia? Ini sesuatu yang janggal, bukan?

Ada banyak kemungkinan penyebab persoalan tersebut. Salah satunya adalah bullying yang terjadi di rumah. Ya, di rumah. Siapa yang melakukan? Bisa orang tuanya, kakaknya, adiknya, atau anggota keluarga lainnya.

Keluarga (terutama orang tua) adalah tempat pertama seseorang menumbuhkan konsep dirinya. Penilaian orang tua terhadap dirinya sejak kecil akan direkam dan berkembang menjadi penilaian terhadap dirinya sendiri. Jika anak tidak pernah mendapat penilaian baik atau bahkan terbiasa mendapat label buruk dari orang tuanya, maka ia akan yakin bahwa tidak ada hal baik dalam dirinya. 

Dan konsep diri ini dapat terus bertahan bahkan bertambah buruk hingga ia dewasa. Meskipun orang-orang di sekitarnya (misalnya teman, rekan, fans dll) memberinya banyak pujian, ia akan merasa pujian itu suatu kebohongan atau karena kebetulan semata.

Anak yang mengalami bullying di rumah berpotensi besar untuk mengalami bullying di luar rumah. Karena salah satu ciri orang yang rentan menjadi target bullying adalah orang yang tampak minder. Apalagi jika orang tersebut memiliki kelebihan menonjol dalam dirinya namun tidak percaya diri dan selalu merasa dirinya kurang.

Devira Sari, Psikolog

28 februari 2020

(Repost)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline