Lihat ke Halaman Asli

Siaga Bencana: Dari Sandiwara Jadi Kesadaran Bersama

Diperbarui: 18 September 2016   05:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkan suatu pagi yang tenang, kita sedang bersiap-siap untuk beraktivitas lalu tiba-tiba lantai bergetar, lemari dan meja berderak, benda-benda kecil mulai berjatuhan, badanpun limbung karena guncangan dahsyat. Gempa bumi melanda. Pasti panik, lalu apa yang bisa kita lakukan? Berteriak histeris atau Lari keluar rumah mencari tempat aman atau bersembunyi di bawah meja atau berlindung di balik tembok? Kondisi panik seringkali membuat kita tak bisa berfikir jernih bahkan sulit melakukan hal yang biasanya sangat mudah seperti membuka kunci pintu sehingga kita bisa terjebak dalam bahaya.

Bencana alam selalu datang tanpa salam dan sulit diprediksi. Ada beberapa teknologi yang telah dikembangkan untuk mendeteksi tanda awal datangnya bencana tapi belum dapat diterapkan secara optimal. Ketika bencana melanda, semua orang merasa panik dan berusaha menyelamatkan diri tapi seringkali upaya penyelamatan diri itu tidak efektif karena tidak dibarengi dengan pengetahuan dan kesiapsiagaan yang baik. 

Dalam suasana panik, orang berlarian tak tentu arah karena tak mengenali jalur evakuasi, ada yang malah meneriakkan isu yang memancing kepanikan baru, bahkan sebagian orang memilih menyelamatkan harta benda dulu dengan resiko nyawa melayang. Ini adalah potret ketidaksiapan masyarakat ketika berhadapan dengan bencana alam. Ketidaksiapan bisa berakibat meningkatnya jumlah korban nyawa maupun kerusakan bangunan [sumber].  

Siaga kurangi resiko

Secara geografis Indonesia terletak di daerah rawan bencana, sehingga mewujudkan masyarakat siaga bencana adalah suatu keniscayaan. Tuhan menganugerahi kita negeri dengan paket komplit kekayaan alam sekaligus potensi bencana yang tersimpan dibawahnya. 

Kita menikmati kemegahan gunung-gunung yang menjulang tinggi dan harus siap menghadapi kemungkinan erupsi. Kita menikmati keindahan pantai serta kekayaan laut dan harus siap menghadapi kemungkinan tsunami. Kita menikmati keanekaragaman bentang alam dan harus siap menghadapi kemungkinan tanah longsor, angin ribut, atau gempa bumi.  

BMKG mencatat bahwa Indonesia mengalami 3000-4000 gempa skala kecil setiap tahunnya [sumber]. 153 kabupaten/ kota yang dihuni 60.9 juta jiwa terletak di zona gempa bahaya tinggi. Tsunami besar dan kecil telah mengguncang sebanyak 173 kali sejak tahun 1629-2014. Tahun 2016, Indonesia telah mengalami 1.509 kejadian bencana [sumber]. 

Meskipun mengerikan, tapi angka itu memang wajar mengingat negeri ini memang berdiri diatas pertemuan jalur tiga lempeng tektonik: lempeng pasifik, lempeng Eurasia, dan lempeng Indo-Australia. Lempeng pasifik bergerak menuju arah barat, sedangkan lempeng Indo-Australia bergerak ke utara dan menyusup ke dalam lempeng Eurasia. Pertemuan ketiga jalur ini berada di laut dangkal sehingga rawan mengakibatkan tsunami [sumber].

Tinggal dalam lingkungan rawan bencana selama ratusan tahun, harusnya masyarakat kita telah memiliki pengetahuan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Namun sayangnya, survei yang dilakukan BNPB pada tahun 2012 menunjukkan rendahnya indeks kesiapsiagaan masyarakat dan pemda di wilayah rawan bencana. Penanganan bencana merupakan masalah nasional yang harus didukung semua komponen, baik dari jajaran pemerintah, masyarakat, maupun lembaga-lembaga yang menangani kebencanaan secara langsung. Penanganan bencana harus bersifat terencana dan terpadu, dimulai dengan penegakan peraturan yang berhubungan dengan resiko bencana seperti perluasan lahan, perencanaan lokasi bangunan yang aman dari potensi bencana, membangun bangunan yang tahan bencana, sosialisasi kesiagaan dan penanganan bencana, pelatihan aparat profesional, kebijakan penanganan bencana, hingga sistem rehabilitasi pascabencana. 

BNPB telah melakukan program-program untuk membentuk kesiapsiagaan bencana, khususnya untuk masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, seperti:

  1. Penyusunan peta rawan bencana oleh para ahli yang dibagikan kepada seluruh kementrian/ lembaga dan pemerintahan daerah. Sayangnya peta ini belum dimanfaatkan secara optimal, masih banyak bangunan dan pemukiman yang dibangun diatas tanah rawan gempa/ longsor.
  2. Pengembangan teknologi untuk mendeteksi potensi bencana. Misalnya, pemasangan bouy tsunami di 25 titik rawan tsunami, LEWS [sistem peringatan dini longsor], alat peringatan dini tsunami, dan alat peringatan banjir yang dipasang di sungai rawan banjir.
  3. Memanfaatkan media massa untuk membangun kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat, misalnya konferensi pers sesaat setelah terjadi bencana, media center dan posko tanggap darurat yang memberikan data bencana yang kredibel, pelatihan kebencanaan untuk wartawan, sosialisasi langsung melalui media cetak dan media elektronik, dan berbagai kegiatan lomba untuk merangsang kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan bencana secara menyeluruh.
  4. Pembentukan tim relawan profesional dan fasilitator desa tangguh bencana yang membantu penanganan bencana secara lebih mandiri dan cepat. 
  5. Penyediaan sarana prasarana dan fasilitas yang lengkap untuk penanganan bencana dengan menjalin kerjasama dengan lembada dan departemen lain.

Untuk mendapatkan hasil yang komprehensif, BNPB kembali menggencarkan sosialisasi kesiapsiagaan bencana melalui sandiwara radio yang berjudul ‘Asmara di tengah Bencana” atau disingkat ADB. Sandiwara radio yang terdiri dari 50 episode ini disiarkan oleh 20 radio lokal dan radio komunitas di Pulau Jawa sejak akhir Agustus 2016. ADB mengangkat kisah tentang kesiapsiagaan masyarakat ketika terjadi bencana gunung meletus dengan bumbu kisah percintaan dan intrik kekuasaan untuk menarik calon pendengar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline