Lihat ke Halaman Asli

Devi Lutfia

Mahasiswa Universitas Islam Sultan Agung

Eksplorasi Etnomatematika pada Bangunan Pancaniti di Kuningan

Diperbarui: 15 Januari 2023   18:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Eksplorasi Etnomatematika pada Bangunan Pancaniti di Kuningan

(Devi Lutfia, Nur Alida, Helmy Yuda Purnama)

 Indonesia adalah negara terpadat keempat setelah China, India, dan Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau. Faktor jumlah penduduk dan jumlah pulau menjadikan Indonesia salah satu negara dengan jumlah suku bangsa terbanyak di dunia. 

Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2010, Indonesia memiliki sekitar 1.340 suku bangsa. Dengan jumlah suku bangsa yang begitu banyak, Indonesia kaya akan keanekaragaman budaya, adat istiadat dan bahasa. Salah satu suku terbesar di Indo esia adalah suku Sunda. Suku Sunda sendiri menempati urutan kedua setelah suku Jawa berdasarkan jumlah penduduknya.

Secara geografis, masyarakat Sunda tinggal di bagian barat Pulau Jawa (Provinsi Jawa Barat dan Banten). Seperti halnya suku bangsa lain, akulturasi budaya juga terjadi pada suku Sunda sehingga tidak mudah bagi peneliti untuk melakukan kajian etnografi mayoritas masyarakat Sunda dengan cakupan wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang besar. Keunikan budaya Sunda tentunya akan sangat sulit dikenali seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi. 

Namun penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi budaya Sunda dapat diarahkan pada masyarakat adat minoritas yang merupakan bagian integral dari kelompok atau subetnis Sunda. Salah satu komunitas tersebut adalah komunitas adat Cigugur. Masyarakat adat Cigugur adalah masyarakat adat yang tinggal di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.

Masyarakat adat Cigugur memiliki adat istiadat unik yang merupakan cerminan masyarakat Sunda tempo dulu. Prinsip hidup yang masih melestarikan budaya leluhur sangat tercermin dalam kegiatan masyarakat sehari-hari maupun dalam acara seremonial tahunan yang dikenal dengan seren taun (perayaan penutupan akhir tahun berdasarkan penanggalan penanggalan yang disebut Saka). Sunda). Upacara tersebut menampilkan berbagai kesenian seperti pertunjukan alat musik, tarian persembahan hasil pertanian, dan ritual kepercayaan terhadap leluhur. 

Selain kegiatan tersebut, upacara seren taun juga digunakan sebagai wahana transfer ilmu pengetahuan dari generasi ke generasi. Pengetahuan tentang nilai-nilai budaya dan pengetahuan lainnya seperti pengetahuan matematika disampaikan dalam bentuk pemberian contoh dan contoh aplikatif. Hal ini terlihat, pada tahap persiapan upacara seren taun, biasanya masyarakat adat Cigugur bergotong royong menyiapkan segala kebutuhan upacara, termasuk memperbaiki bangunan khas yang ada di kawasan masyarakat adat Cigugur seperti meru dan pancaniti. . Meru merupakan bangunan dengan atap bertingkat berbentuk limas. 

Meru di wilayah adat Cigugur memiliki tingkatan 3, 5, dan 7. Bentuk meru di kawasan adat Cigugur sama dengan meru di Bali, namun secara fungsi berbeda. Jika di Bali meru merupakan salah satu bangunan suci umat Hindu, maka di Cigugur meru hanyalah bangunan yang digunakan untuk mengobrol, berdiskusi, atau memainkan alat gamelan pada saat upacara seren taun. Masyarakat adat Cigugur biasanya bergotong royong mempersiapkan segala keperluan upacara, termasuk memperbaiki bangunan khas di kawasan masyarakat adat Cigugur seperti meru dan pancaniti. Meru merupakan bangunan dengan atap bertingkat berbentuk limas. 

Meru di wilayah adat Cigugur memiliki tingkatan 3, 5, dan 7. Bentuk meru di kawasan adat Cigugur sama dengan meru di Bali, namun secara fungsi berbeda. Jika di Bali meru merupakan salah satu bangunan suci umat Hindu, maka di Cigugur meru hanyalah bangunan yang digunakan untuk mengobrol, berdiskusi, atau memainkan alat gamelan pada saat upacara seren taun. Masyarakat adat Cigugur biasanya bergotong royong mempersiapkan segala keperluan upacara, termasuk memperbaiki bangunan khas di kawasan masyarakat adat Cigugur seperti meru dan pancaniti. Meru merupakan bangunan dengan atap bertingkat berbentuk limas.

Meru di wilayah adat Cigugur memiliki tingkatan 3, 5, dan 7. Bentuk meru di kawasan adat Cigugur sama dengan meru di Bali, namun secara fungsi berbeda. Jika di Bali meru merupakan salah satu bangunan suci umat Hindu, maka di Cigugur meru hanyalah bangunan yang digunakan untuk mengobrol, berdiskusi, atau memainkan alat gamelan pada saat upacara seren taun. Meru merupakan bangunan dengan atap bertingkat berbentuk limas. Meru di wilayah adat Cigugur memiliki tingkatan 3, 5, dan 7. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline