Lihat ke Halaman Asli

Pertemuan G20 di Sydney 22-23 Februari 2014

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

sumber gambar: bisniskeuangan.kompas.com Negara-negara G-20 melakukan pertemuan di Sydney tanggal 22-23 Februari 2014 salah satu agenda dari pertemuan itu adalah membahas mengenai kebijakan Bank Sentral Amerika The Fed terkait percepatan penghentian stimulus dan pengakhiran era dana murah/suku bunga murah (easy money). Negara-negara G-20 bersama dengan lembaga internasional lainnya seperti IMF akan berupaya melakukan komunikasi terkait dengan kesinambungan ekonomi global dan upaya pemulihan global. IMF sudah menyampaikan rekomendasi kepada The Fed untuk dapat mempertimbangkan penghentian stimulus itu tidak dilakaukan secara terburu-bur dan memperhatikan kondisi ekonomi negara-negara berkembang. Sejak akhir tahun 2013, The Fed telah mengurangi stimulusnya sebesar US$20 millair atau tersisa US$65 milliar pada saat ini. Hasil pertemuan The Fed beberapa waktu yang lalu memberikan sinyal pengakhiran suku bunga murah yang selama ini selalu dipertahankan The Fed dalam menggairahkan ekonomi demoestik Amerika. Data pengangguran Amerika per Januari 2014 mencapai 6,6% atau mendekati 6,5%, di mana ambang batas yang diajdikan patokan untuk mengakhiri era suku bunga murah. Gubernur The Fed, Janet Yellen akan mengadakan pertemuan bersama-sama menteri keuangan dan para gubernur bank sentral G20 untuk membahas kebijakan lanjutan The Fed khususnya terkait dengan penghentian stimulus dan kenaikan suku bunga. Kebijakan dari The Fed ini dalam perhatian ekonomi dunia yang cukup tinggi terlebih lagi bagi ekonomi Amerika yang menguasai 20% ekonomi dunia. Departemen Ketenagakerjaan Amerika Serikat mencata indeks harga konsumen melambat 0,1% setelah mengeuat 0,2% pada Desember 2013. Data penjualan perumahan di Amerika juga mengalami penurunan 5% sebanyak 4,6 juta unit atau terendah dalam 18 bulan terakhir ini. Bagi Indonesia, Skenario penghentian stimulus moneter diamerika memang sempat menggoncang di pasar keuangan nasional pada pertengahan 2013. namun dengan bantuan kebijakan fiskal moneter yang dikeluarkan pemerintah, hal itu dapat meredakan goncangan tersebut di akhir tahun 2013. Nilai tukar rupai yang ditarnsaksiakan antar Bank di Jakarta pada tanggal 21 Februari 2014 menguat 103 poin menjadi Rp11.730 dibandingkan sebelumnya Rp 11.833 per dolar AS. Penguatan rupiah itu ditopang oleh semakin kokohnya fundamental perekonomian nasional. Surplus neraca perdagangan di Desember 2013 mencapai US$1,5 miliar. Perbaikan kinerja neraca perdagangan itu juga berdampak cukup baik pada pengurangan defisit transaksi berjalan, defisit transaksi berjalan mengecil di level US$4,02 miliar atau 1,98% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dikuartal IV-2013, jauh lebih rendah di kuartal III yang defisit nya US$8,53 miliar atau 3,8% dari PDB. Neraca pembayaran Indonesia pada periode tersebut mencatatkan adanya surplus US$4,41 miliar setelah tiga kuartal sebelumnya mengalami defisit. Cadangan devisa Indonesia pun terus meningkat menembus angka US$100,7 milair per Januari 2014, resiko inflasi pun dapat dikendalikan pada level yang relatif aman 8,34% sepanjang tahun 2013. Ini semua merupakan hasil kerja pemerintah sepanjang tahun 2013, ketika adanya wacana penarikan stimulus The Fed mulai merebak. Sepanjang tahun 2013, nilai tukar rupaih pun cukup melorot, ancaman resiko inflasi, defisit transaksi berjalan, defisit perdagangan dan defisit neraca pembayaran. Secara meyakinkan kinerja kebijakan ekonomi nasional menunjukan hasil yang positif. Sejak kuartal akhir 2013 sampai sekarang, fundamental ekonomi nasional tetap menguat di saat negara-negara berkembang mengalami tekanan penarikan stimulus dan naiknya suku bunga di Amerika.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline