Satinah binti Jumadi Ahmad. Wanita 41 tahun asal Dusun Mrunten, Desa Kalisidi, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, ini bisa jadi akan mengakhiri hidupnya tanggal 3 April 2014 di Buraidah, Provinsi Al Gaseem, Arab Saudi, dengan cara dipancung.
Hukuman pancung bagi kita terdengar sadis. Tapi hukuman itu efektif untuk mengurangi rasa sakit si terhukum. Sekali penggal, nyawa langsung melayang. Bisa jadi, si terhukum tidak "sempat" merasakan sakit. Jadi, hukum pancung itu tampak "sadis" tapi sebenarnya manusiawi.
Sudah ribuan tahun hukuman itu diberlakukan dan dianggap sebagai cara yang bijak untuk menerapkan hukuman mati. Negara lain, memberlakukan aneka cara eksekusi dari humuman gantung, tembak, setrum listrik, suntik mati, dan rajam. Dan Arab Saudi lebih memilih pancung meski mengenal hukuman tembak juga. Silakan dibandingkan tingkat kemudahan matinya seseorang dan tingkat kesakitannya untuk masing-masing cara eksekusi ituBerbilang tahun pula Arab Saudi berpraktik hukum seperti itu. Kita menghormati negara kerajaan itu tanpa pernah mengusiknya. Karena itu pula, terkait dengan rencana eksekusi terhadap Satinah, pada dasarnya kita tidak bisa melakukan apa-apa. Kita harus menghormati kedaulatan hukum negara lain. Kita pernah sangat marah ketika pemerintah Australia mengintervensi kasus Schapelle Corby si ratu ganja itu. Kita seperti dihina oleh Australia.
Kasus Satinah sebenarnya juga bukan tiba-tiba. Kasus ini sudah bergulir sejak 2007, ketika perempuan yang kabarnya mampu menghafal Al-Qur'an 17 juz itu tersangkut perkara pembunuhan dan pencurian. Melalui proses persidangan, Satinah dikabarkan tak pernah didampingi pengacara, ia mengakui perbuatannya dan dipenjara di Kota Gaseem sejak 2009. Hingga kasasi pada 2010 Satinah, ia tetap diganjar hukuman mati.
Seharusnya Satinah dieksekusi Agustus 2011. Namun, ia beruntung mendapat tiga kali pengunduruan, yaitu Desember 2011, Desember 2012 dan Juni 2013.
Hal yang bisa kita lakukan adalah melobi keluarga korban atau si terbunuh untuk memberi pengampunan dan menegosiasikan jumlah diyat atau semacam uang tebusan. Besarnya diyat untuk membebaskan Satinah Rp21 miliar. Angka yang sangat besar.
Masalahnya, apakah uang sebanyak itu harus ditanggung negara? Lalu bagaimana keadilan bagi rakyat lain yang masih miskin?
Pada prinsipnya, diyat tak bisa didiplomasikan. Karena itu, jalan terbaik adalah mengumpulkan uang secara ramai-ramai. Temanya adalah solidaritas, bukan politik. Jadi tak usahlah mengumpulkan uang kemudian berteriak kesana-kemari. Apalagi mencaci orang lain. Kita semua tahu, di masa kampanye dan politik sekarang ini, politik sedang menjadi panglima. Tapi, percayalah, rakyat sudah pintar, sudah beda membedakan mana kegiatan amal, mana pula yang politik atau politisasi.
Biarlah pemerintah melobi Kerajaan Arab Saudi dan keluarga korban untuk setidaknya menunda eksekusi. Syukur-syukur diyat bisa diturunkan sehingga angkanya menjadi "rasional" terutama rasional untuk bangsa Indonesia yang masih membutuhkan banyak modal untuk mambangun diri ini. Jalan-jalan masih banyak yang rusak, sekolah juga banyak yang hampir roboh.
Diyat merupakan urusan personal yang dasar hukumnya sudah jelas, yaitu hukum Islam. Memang tidak nyambung dengan hukum positif ala Indonesia yang lebih banyak mengadopsi pasal dari Belanda.
Diyat yang berasal dari kata diyatan berarti "membayar harta tebusan yang diberikan kepada korban atau walinya dengan sebab pidana penganiyaan (jinyat)". Karena itu, siapa pun tak bisa menentukan besarnya diyat kecuali korban atau walinya.