Lihat ke Halaman Asli

Vika Chorianti

Pecinta buku, musik dan movie

Buruh; Pedang Bermata Dua

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14304432091207359083

(source : bisniskeuangan.kompas.com)

Hari ini, tgl 1 Mei diperingati sebagai hari buruh Internasional. Hari ini, oleh pemerintahan yang dipimpin SBY lalu, dijadikan hari libur nasional atau tanggal merah. Tujuannya jelas, semoga di hari libur ini, buruh tidak turun dijalan melakukan demo seperti yang selalu dilakukan pada tahun2sebelumnya.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Libur atau tidak libur, asosiasi buruh atau dikenal dengan SPSI justru semangat untuk melakukan show of force. Seakan tanggal merah justru dijadikan kesempatan untuk menggalang massa sebanyak2nya agar bisa di jalan. Karena hari ini libur, tidak ada aktivitas kantor, tentu jalanan lebih lengang bila dibandingkan jika hari ini masih hari aktif bekerja.

Justru karena hari ini libur, para buruh tidak perlu untuk meminta ijin demo kepada perusahaan seperti yang sebelum2nya mereka lakukan. Mereka tidak perlu khawatir akan adanya bayang2pemecatan oleh pihak perusahaan karena melakukan demo.

Maafkan saya, bukan saya tidak bersimpati dengan keadaan buruh. Bukan saya kontra terhadap yang mereka lakukan. Karena saya memulai karir juga sebagai buruh. Sebagai pegawai. Saya memulai bekerja dari tingkatan yang paling bawah. Sehingga saya juga tahu bagaimana rasanya bekerja dalam sebuah sistem perusahaan, yang tidak semuanya mengakomodir keinginan kita. Saya memahami tidak semua perusahaan bisa memberikan kesejahteraan kepada karyawannya.

Buruh atau pegawai atau karyawan layaknya memang seperti pedang bermata dua. Keberadaannya sangat berkaitan erat dengan pengusaha. Buruh butuh pengusaha, pengusaha juga butuh buruh. Keduanya bagai mata uang yang tidak bisa terpisahkan. Saling membutuhkan.

Pada era pemerintahan Suharto, ketika semua keran kebebasan mengeluarkan pendapat ditutup, persoalan buruh tidak tampak dipermukaan. Masyarakat hanya melihat segala sesuatu baik2saja. Hingga muncul sosok tokoh Marsinah, buruh pabrik di Sidoarjo yang meninggal secara mengenaskan di tengah hutan Porong kala itu (jauh sebelum lumpur lapindo meluluhlantakkan porong).

Marsinah adalah anak orang biasa dan bekerja di pabrik biasa. Hanya suaranya yang tidak biasa. Dia bersuara terlalu lantang pada saat itu mengenai hak2pekerja yang tidak diberikan oleh pemilik pabrik. Dan kelantangan bersuara itu harus dibayar mahal dengan nyawanya sendiri.

Kini, di era pemerintahan SBY, Jokowi, kondisi buruh sudah jauh sangat lebih baik jika dibandingkan pada masa pemerintahan Suharto. Keran kebebasan berpendapat dibuka lebar. Mereka boleh turun ke jalan alias berdemo untuk menyuarakan -sudah bukan keinginan- tapi, tuntutan mereka kepada pemerintah. Pada saat berdemo pun mereka didampingi oleh petugas negara yaitu dari pihak kepolisian.

Namun justru saya melihat, ketika kebebasan bersuara itu sudah didapatkan, saya kok merasa justru sekarang pergerakan mereka menjadi (sedikit) kebablasan. Dimulai dengan tuntutan kenaikan UMR (upah minimum regional) untuk setiap tahunnya sebesar 30%. Alasannya kebutuhan hidup setiap tahun meningkat. Tidak cukup, mereka meminta UMP (upah minimum provinsi) juga meningkat. Alasannya agar terjadi pemerataan di seluruh provinsi.

Mereka juga meminta index KHL (kebutuhan hidup layak) ditingkatkan. Standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah dasar dalam penetapan Upah Minimum. Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) merupakan komponen-komponen pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang dibutuhkan oleh seorang pekerja lajang selama satu bulan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline