Budaya risiko (risk culture) adalah perilaku dan pandangan dari seluruh pihak yang berinteraksi dengan risiko terhadap risiko tersebut. Seumur hidup kita, pastinya akan ada risiko yang akan kita alami, baik positif maupun negatif. Risiko positif dapat muncul sebagai sebuah peluang untuk mendapatkan hasil yang baik, namun risiko negatif dapat menjadi ancaman bagi si penanggung risiko.
Salah satu risiko yang sedang ditanggung oleh seluruh dunia adalah COVID-19. Pada akhir tahun 2019, kasus COVID-19 mulai bermunculan di Wuhan, China, kemudian pelan-pelan tapi pasti menghantam seluruh dunia, termasuk Indonesia dimana kasus mulai bermunculan pada awal tahun 2020. Sejak itu, seluruh dunia seakan mengalami kemunduran dan berbagai dampak negatif dari COVID-19 terlihat jelas; mulai dari dampak pada kesehatan, sosial-budaya, serta ekonomi.
Di Indonesia sendiri, kita dapat merasakan secara langsung dan tidak langsung dampak dari COVID-19, sebut saja pembelajaran daring, pembatasan sosial, dan mungkin sebagian pekerja kehilangan pekerjaannya. Tidak hanya rakyat, pemerintah juga pastinya terus memutar otak untuk mencari langkah terbaik untuk mengatasi dampak risiko yang masif ini, terutama ketika rakyat mulai berteriak akibat sulitnya perekonomian selama terdampak COVID-19.
Perekonomian negara kian menurun, bayang-bayang resesi ekonomi yang pernah Indonesia alami pada tahun 1998 semakin jelas di depan mata. Hingga akhirnya data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kemunduran besar yang dialami Indonesia pada kuartal II tahun 2020 dimana kinerja perekonomian berada di angka minus 5,32 persen. Pemerintah tidak tinggal diam. Dengan berbagai kebijakan yang disusun dan dilaksanakan, hasil mulai terlihat di kuartal III tahun 2020 dimana kinerja perekonomian berada di angka minus 3,49 persen. Ya, masih resesi, masih minus, namun kemajuan dan pemulihan mulai terlihat.
Apakah yang menjadi dasar pengambilan keputusan oleh pemerintah yang dapat memulihkan kondisi Indonesia sekarang ini? Budaya risiko.
Pandemi COVID-19 tentunya menjadi suatu hal yang tidak dapat diprediksi oleh siapapun, hingga virus COVID-19 beserta gejala-gejalanya mulai berkembang dan menyebar. Namun, pemerintah nampak menunjukkan budaya risiko yang baik dengan pengambilan keputusan dan kebijakan-kebijakan yang dapat memulihkan kondisi negara, walau pelan-pelan tapi pasti.
Adanya budaya risiko yang baik terlihat dari sikap pemerintah yang bersifat menenangkan masyarakat dengan tidak membuat keputusan mendadak seperti lockdown mendadak. Selain itu, berbagai kebijakan pembatasan sosial dilakukan guna mengurangi angka penyebaran COVID-19, dengan sosialisasi yang seringkali kita lihat dalam bentuk spanduk, poster, iklan di televisi, dan media sosial.
Pemerintah telah berusaha dengan menetapkan kebijakan-kebijakan mereka, bagaimana dengan rakyat? Dengan tingkat pemahaman akan budaya risiko yang beragam, pandangan dan tindakan yang dimiliki juga pastinya akan berbeda-beda. Oleh karena itu, penting untuk semua orang dapat mengetahui apa itu budaya risiko dan dampaknya bila kita memiliki budaya risiko yang baik, yaitu membuka pikiran kita terhadap berbagai kemungkinan risiko yang terjadi, apa penyebabnya, tindakan yang bisa kita ambil, dan bagaimana cara mengatasinya.
Salah satu tindakan dasar yang bisa kita lakukan untuk kembali memulihkan perekonomian Indonesia adalah berusaha semaksimal mungkin untuk tetap sehat, mencari penghasilan, kembali menghidupkan ekonomi negara kita. Kini, sebagian besar orang pastinya mulai lengah, padahal pandemi COVID-19 masih belum berakhir. Sebaiknya kita mematuhi protokol kesehatan, mendukung program pemerintah, dan menjadi masyarakat yang aktif dalam melaksanakan demokrasi dengan cara menyuarakan pendapat yang berbobot ketika diperlukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H