Lihat ke Halaman Asli

Ekofeminisme, Suara Perempuan Untuk Kelestarian Bumi dan Keadilan Sosial

Diperbarui: 26 November 2024   00:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apa Itu Ekofeminisme?

Ekofeminisme adalah sebuah gerakan dan perspektif yang menghubungkan isu-isu ekologi dengan feminisme. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Franoise d'Eaubonne pada tahun 1974 dalam bukunya Le Fminisme ou la Mort. Ekofeminisme berpandangan bahwa ada kaitan erat antara eksploitasi terhadap alam dan penindasan terhadap perempuan. Kedua hal ini, menurut ekofeminisme, memiliki akar yang sama, yaitu dominasi patriarki yang mengeksploitasi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan atau dampaknya pada kehidupan.

Gerakan ekofeminisme menekankan pentingnya melihat kembali hubungan manusia dengan alam serta menciptakan kesadaran akan ketimpangan gender yang muncul dalam konteks eksploitasi sumber daya alam. Perempuan sering kali menjadi pihak yang paling terdampak oleh kerusakan lingkungan, namun sekaligus memiliki peran kunci dalam menjaga kelestarian lingkungan, terutama dalam masyarakat agraris dan tradisional.

Gerakan ekofeminisme mulai berkembang pesat pada dekade 1980-an, terutama di Amerika Serikat, India, dan Afrika. Di India, gerakan Chipko---di mana perempuan memeluk pohon untuk mencegah penebangan liar---menjadi salah satu simbol perjuangan ekofeminisme. Gerakan ini menunjukkan bagaimana perempuan memiliki hubungan emosional, spiritual, dan fisik yang mendalam dengan alam.

Di Afrika, Wangari Maathai, peraih Nobel Perdamaian 2004, memimpin gerakan Green Belt Movement yang fokus pada penanaman pohon dan pemberdayaan perempuan. Di dunia Barat, tokoh seperti Vandana Shiva dan Maria Mies menjadi suara utama dalam teori ekofeminisme. Mereka mengaitkan eksploitasi kapitalis terhadap alam dengan marginalisasi perempuan, khususnya di negara-negara berkembang.

Perempuan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, sering kali berada di garis depan dalam menghadapi dampak kerusakan lingkungan. Mereka yang mengelola sumber daya lokal---air, hutan, dan tanah---merasakan langsung kerugian akibat penggundulan hutan, pencemaran air, atau konflik agraria. Namun, perempuan juga menjadi agen perubahan yang luar biasa dalam memperjuangkan kelestarian bumi. Gerakan perempuan adat seperti yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga menonjolkan keberanian perempuan dalam melindungi tanah dan hutan adat dari eksploitasi korporasi.

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, namun paradoksnya juga menjadi saksi dari eksploitasi yang merugikan masyarakat lokal, terutama perempuan. Perempuan adat di Papua, Kalimantan, dan Sumatra sering kali menjadi korban eksploitasi perusahaan tambang dan kelapa sawit. Namun, di sisi lain, perempuan juga menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hak atas lingkungan yang lestari.

Mengapa perempuan adalah kunci?

Perempuan memiliki hubungan yang unik dengan alam, terutama dalam konteks masyarakat agraris dan adat. Mereka tidak hanya sebagai pengguna sumber daya alam, tetapi juga penjaga yang memastikan keberlanjutannya. Perempuan sering kali menjadi pengelola utama air, tanah, dan hasil hutan. Pengetahuan mereka tentang ekosistem lokal menjadikan mereka sebagai aktor penting dalam upaya konservasi. Kerusakan lingkungan seperti banjir, kekeringan, dan pencemaran sering kali berdampak lebih besar pada perempuan. Hal ini mendorong mereka untuk lebih vokal dalam memperjuangkan perubahan. Perempuan yang diberdayakan dapat menjadi pemimpin komunitas yang mendorong perubahan sosial dan ekologis. Inisiatif seperti pertanian organik, pengelolaan sampah, dan energi terbarukan sering kali dipimpin oleh perempuan. 

Ekofeminisme juga menyoroti bagaimana ketidakadilan gender dan ketimpangan sosial saling terkait dengan eksploitasi lingkungan. Dalam banyak kasus, perempuan yang berada di masyarakat miskin dan terpinggirkan merasakan dampak ganda dari ketimpangan ini.

Di sisi lain, pemberdayaan perempuan dalam isu lingkungan dapat menciptakan dampak positif yang berlipat ganda. Ketika perempuan diberikan akses yang setara terhadap pendidikan, teknologi, dan sumber daya, mereka mampu membawa perubahan signifikan tidak hanya untuk lingkungan, tetapi juga untuk masyarakat secara keseluruhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline