Lihat ke Halaman Asli

Film KKN di Desa Penari dan Hubungannya dengan Norma di Indonesia

Diperbarui: 1 Agustus 2022   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Norma menetapkan standar tinggi untuk dalam masyarakat, tetapi norma tersebut jarang menghasilkan perubahan di dunia nyata. Beberapa norma hukum yang melarang korupsi dan ancaman kriminalitas memiliki perilaku yang diatur secara jelas dan tegas. Tetapi apa yang sebenarnya terjadi dalam praktik? Jelas, korupsi masih tumbuh subur di negara kita yang besar meskipun kita menghormati aparat penegak hukum.

Ada cerita bahwa beberapa peserta KKN justru melanggar hal-hal "pantangan", seperti melakukan hubungan seks secara berlebihan di tempat yang tidak semestinya. Berkaitan dengan hal tersebut, ada kejadian mistis dan ada "sanksi mistis" bagi yang mengikuti KKN, yang merupakan pengembangan utama film KKN di Desa Penari. Dalam konteks ini, peserta KKN yang melanggar "pantangan" dalam film KKN di Desa Penari dapat digambarkan sebagai pelanggaran norma, terutama kesopanan yang diterapkan di masyarakat. , sedangkan peristiwa mistis yang dialami peserta KKN adalah hukuman karena melanggar norma.

Meski hanya  lisan ketimbang tulisan, "pantagan" seperti dalam film KKN di Desa Penari sangat menegaskan bahwa  dengan adanya sanksi dan peristiwa mistis maka eksistensi norma sosial dalam masyarakat tetap terjaga. Hal ini tentu berbeda dengan  yang terjadi dalam norma hukum, misalnya. Peraturan perundang-undangan mengatur  lex scripta, lex certa, dan lex precisiona dalam peraturannya, tetapi sering kali diimplementasikan dengan buruk. Norma hukum terkadang keras secara tertulis, tetapi menjadi "omong kosong" dalam penerapannya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan jual beli bisnis, suap dan kurangnya integritas oleh penegak hukum.

Fenomena  ini disebut surealisme norma oleh pengarang. Norma-norma yang  ada di masyarakat saat ini tidak dapat ditegakkan karena hakikat norma tersebut justru "dilanggar dan direkayasa" untuk kepentingan tertentu. Tentu saja, kehadiran film KKN di Desa Penari bisa menjadi kritik terhadap penerapan norma di masyarakat, terutama norma hukum yang selama ini hanya digambarkan "berat" dalam teks, tetapi tidak dalam konteksnya. Hal ini tentunya berbeda dengan standar kesopanan yang dalam film KKN di Desa Penari disebut "pantangan" dan dilengkapi dengan hukuman mistis yang semakin ditakuti dan dijunjung masyarakat. Dari uraian tersebut, perlukah ditambahkan sanksi mistis ke depan pada norma sosial (yakni norma hukum) agar ditakuti, dihormati, dan dipertahankan masyarakat?

Film KKN di Desa Penari memiliki nilai moral tersendiri, seperti menghargai sopan santun dalam masyarakat dan menjunjung tinggi tradisi di tempat kegiatan. Tentunya hal ini dapat berdampak positif bagi generasi muda. Dalam konteks fenomena ini, banyak pihak yang kecewa dengan efektifitas norma dalam masyarakat, khususnya norma hukum.

Norma hukum yang didasarkan pada kepastian dan jargon telah menjadi norma yang mudah diikuti oleh masyarakat, meskipun tidak memiliki nilai atau kode moral yang sama dengan pembuat norma aslinya. Hal ini terlihat dalam berbagai ketentuan norma hukum yang baik, namun penerapannya masih perlu dievaluasi kembali.

Undang-undang melarang keras korupsi, tetapi kenyataannya korupsi semakin meningkat dan seolah-olah dilakukan secara sistematis dan masif. Hal ini juga berlaku pada adanya norma hukum yang menyatakan bahwa "dilarang merusak lingkungan" tetapi di sisi lain penambangan liar justru meluas, berdampak pada lingkungan, merusak lingkungan.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan sederhana, apa yang salah dengan penegakan standar di negara kita?, khususnya apa yang salah dengan penegakan hukum? Penerapan standar di masyarakat, khususnya penerapan standar hukum, dalam praktiknya perlu dievaluasi dan ditingkatkan secara berkala. Kita tentu ingat bahwa di masa lalu, di masyarakat pedesaan, untuk melindungi lingkungan, tidak perlu memperkenalkan undang-undang, peraturan daerah, atau perangkat hukum lainnya.

Selain itu, adanya "pantangan" dan "Sanksi mistis" seperti yang terlihat dalam film KKN di Desa Penari dapat mencerminkan ketaatan terhadap norma-norma yang ada di masyarakat, khususnya norma hukum. Meski terdengar aneh bahkan berbau mistis, namun keberadaan "pantangan" yang disertai dengan "Sanksi mistis" sebenarnya lebih efektif daripada upaya hukum apapun. Tentu saja, klaim ini perlu studi dan penyelidikan lebih lanjut.

Penyebaran cerita merupakan fenomena budaya yang menarik untuk dikaji karena telah ditunjukkan bagaimana pembaca memainkan peran kunci dalam memahami dan menafsirkan teks sehingga cerita dapat dibaca. KKN di Desa Penari dikenal lebih banyak pembaca. Kegemaran orang akan rasa takut-menakuti, kepercayaan mereka pada ilmu gaib dan efek echo camber. Media sosial menjadi salah satu faktor yang mendukung terjadinya kondisi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline