Lihat ke Halaman Asli

Keterlekatan

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mari sini, duduk dekatku—ada secangkir kopi yang masih mengepul disini. Bukankah harumnya begitu menggoda?  Aku melihat itu dari binarmu. Hanya ada secangkir. Tapi aku tak akan keberatan untuk membaginya denganmu. Sembari membiarkan lekat kopi dari kebun seorang nenek tua di Svarnadvipa, maka akan aku ceritakan tentang banyak hal. Mungkin ini kisahku. Juga kisahmu. Dan kita menamainya kehidupan.

Bermula dari ketiadaan. Akan selalu dimulai dari sana. Dimana tak ada suara. Tak ada gurindam. Tak ada warna. Tak ada wujud. Pun tak ada hampa. Demikian juga dengan aku. Mungkin juga dengan kamu. Ayo—cicipilah  kopi itu. Jangan kamu sodorkan sungkan padaku. Aku bukan siapa-siapa. Pun kamu bukan siapa-siapa. Iya. Kita memang bukan siapa-siapa. Dan hanya taqdir yang membedakan antara aku dan kamu. Hingga kamuflase membiaskan citra kita untuk menjadi siapa-siapa.

Hakikat. Pernahkah kita bertanya, apa tujuan hidupmu? Ah—jangan kau tundukan wajah itu—tanya ini juga berlaku untukku. Sarasamuscaya. Tujuan hidup manusia. Jangan biarkan kopi itu dingin. Rasakan keterlekatan yang membunuh indera perasamu. Sekali, Dua kali. Tiga kali. Kau akan memahami keterlekatan itu. Pun kamu tak akan mengeluh dengan pahit itu lagi. Hu—bagi seorang sufi, napas yang keluar-masuk selama kita hidup adalah amal batin: kembali turun diisi namanya—ke bawah tiada berbatas—ke atas tiada terhingga.

Dini hari. Seorang ibu tak ingin terpejam dalam larut. Bahkan ia tak ingin rebah. Hanya hilir-mudik di tengah rumah berpenerangan seadanya. Perutnya yang membuncit hampir membuatnya kualahan untuk berlama-lama berdiri. Tapi ia tetap tak ingin rebah. Disandarkannya bahu pada dinding beku yang membuat tubuhnya gemeletuk. Sekali lagi ia hilir-mudik. Lidahnya kelu. Ia tak curiga sedikitpun pada jabang bayi yang sedang berusaha untuk bisa melihat fajar hari itu. Masih dengan mata tanpa kantuk, ia kembali menyandarkan bahunya.

Seorang lelaki yang hampir seabad pun acuh sembari santai menghangatkan diri dalam sarungnya yang berlurik. Sesekali ia terusik ketika seekor nyamuk usil mencicipi darah manisnya. Sedang seorang ibu yang hampir paruh baya sesekali menatap ibu yang hilir-mudik tanpa kantuk. Tapi ia sama tak curiganya. Hanya sesekali ia bertanya padanya mengapa belum juga bernajak ke peraduan. Lalu kembali sibuk menghitung kepingan koin yang diperolehnya dari berjualan sesorean tadi. Jemarinya lincah ketika menghitung lembaran kertas warna-warni. Bibirnya komat-kamit tanpa suara.

Jabang bayi mulai tak sabar. Ia tak jadi tidak untuk bisa melihat fajar hari itu. Ia terus berjuang. Ibu semakin sering hilir-mudik. Ia semakin tak mengantuk. Tapi ia tetap tak curiga pada jabang bayi yang terus berjuang. Jabang bayi tak ingin mengusik ibu. Ia berjuang dalam diam. Pun ia tak ingin membuat ibu merintih kesakitan. Apalagi memekik kepayahan. Saat itu telah lewat dini hari. Hanya suara jangkrik. Ramai orang berlalu-lalang dan berkasih telah habis waktu. Terkadang katak sawah sesekali ramai ketika perangkapnya disinggahi nyamuk-nyamuk naas.

Sekali ini ibu hampir paruh baya curiga. Kepingan koin telah habis dihitung. Lembaran warna-warni telah rapi ditumpuknya dalam sebuah kotak berkarat. Matanya hanya tertuju pada ibu jabang bayi. Pun ia beranjak menyusurinya. Kali ini ia tak bertanya mengapa belum beranjak keperaduan. Jemarinya menelasar pada bagian bawah perut ibu jabang bayi. Mimik wajahnya berubah. Menjadi panik. Ia sedikit berteriak: jabang bayi hampir jatuh dari buaian sang rahim.

Lelaki seabad bangkit seketika. Sambil berjalan ke sudut ruang ia rapikan sarungnya. Di bawah penerangan seadanya, ia bentangkan sehelai tikar bertenun. Ibu jabang bayi menurut untuk rebah kali ini. Lelaki seabad itu berubah menjadi seorang bidan berpengalaman. Pun tanpa komando, ibu paruh baya menyiapkan semua peralatan bersalin. Ia seperti seorang asisten yang setia. Masih belum fajar bahkan seperempat malam pun belum. Jabang bayi lahir. Matanya yang bundar mengerling ke seluruh ruangan. Ia mencari-cari fajar. Ah—ia tak datang terlambat. Ia memang bukan anak sang fajar. Tapi kelahirannya menyambut sang fajar telah dituliskan untuknya. Ia bintang fajar. Dan mereka menamainya Sheera.

Kamu menurutiku: sekali—dua kali—tiga kali. Karena sekarang aku tak melihat lagi kesah di antara binarmu. Ya—aku tahu kesadaranmu yang melepaskan keterlekatan itu. Membiarkan keterlekatan itu membunuh indera perasamu. Trikaya parisuda. Pikiran—perkataan—perbuatan. Pikiran adalah sumber dari segala macam nafsu, ialah yang menggerakan dan mengarahkan perbuatan menuju kebajikan atau pun kejahatan. Maka dari itu usahakanlah terlebih dahulu untuk mengendalikan pikiran.

Bila tak ada: mengapa—tak harus dicari jawabannya. Bila tak ada: andai—mungkin kita sudah pergi ke realita tak terjamah itu. Bila tak ada: siapakah—tak sia-sia pencarian selama ini. Bila tak ada: seharusnya—mungkin sudah jauh kita tenggelam ke dalam itu. Bila tak ada: bolehkah—pasti telah terjadi semua yang kita mau. Manusia memang akan terus berpikir untuk mencari kebenaran dan pembenaran. Ya—itu fungsi akal. Aku tak menyalahkan. Tuhan melengkapi itu untuk sampai pada kesempurnaan dan barulah fase kelahiran dimulai. Sebuah jiwa baru terlahir sempurna bernama manusia. Kemudian akan melalui fase lainnya. Seperti kopi yang kamu minum. Pun seperti kesadaranmu membiarkan keterlekatan membunuh indera perasamu. Kemudian kamu akan menemukan makna keterlekatan itu sendiri.

Waktu cepat berlalu. Lihatlah kopi itu tak lagi mengepul. Tahukah kamu kapan kepulan itu menghilang? Kita tahu tapi tidak pasti. Begitulah waktu berjalan. Ia berputar tapi tak pernah berjalan mundur. Sekalipun ia akan kembali pada rotasi yang sama. Pun serupa dengan catatan tentangku juga tentangmu. Kita bisa melihat catatan itu samar-samar. Sebagian ada yang cukup lekat. Bahkan sangat lekat. Hingga ketika kelekatan itu terlihat kembali, kita akan tertawa atau menangis. Meski tidak banyak yang membuat kita tertawa. Tapi ingatlah untuk setiap bulir hangat yang jatuh tak akan sia-sia. Waktu mencatat itu dengan sempurna. Hingga kita mampu melihat goresan-goresan yang kerap kali membuat kita ngilu. Tenang. Goresan itu tak akan permanen, karena waktu yang akan mengobati itu. Serupa kesadaranmu untuk membiarkan keterlekatan membunuh indera perasamu. Itu bagian dari proses. Pun seperti kehidupan ini setelah kita berjuang untuk terlahir. Begitu juga dengan jabang bayi yang terlahir untuk menyambut fajar. Sheera.

Kaki kecil melangkah cepat, setiap langkah jaraknya lebar. Ia tidak berani melangkah cepat. Sempat menginjak kerikil dan mengaduh. Berusaha menyempurnakan irama. Mengejar waktu yang tidak pernah berhenti. Kaki kecil mulai melambat. Setiap langkahnya menjadi begitu berat, namun ia belum mau berhenti melangkah. Sempat menginjak duri dan mengaduh, sampai menangis. Mengejar waktu yang tidak pernah berhenti. Kaki menjerit. Mata kakinya resah. Ia tidak boleh berhenti, kaki kecil hanyalah sebuah kaki, meski tidak boleh berhenti, tetap berharap untuk berhenti sejenak dari lelah langkahnya mengejar sebuah kebahagian.

Jika perahu tidak bisa berjalan. Semoga bukan sebab layar sengaja diturunkan, melainkan akibat musim tanpa angin. Dengan demikian, ada kesempatan bagi hati dan lengan untuk mengayuh dayung agar perahu sampai. Binara dari sekumpulan renjana lantak sudah. Jatuh berkeping-keping meninggalkan repih-repih yang mengiris dalam luka dan sunyi. Dia terkapar berdarah, dia adalah gadis tegar yang tercipta dari teater kehidupan. Darahnya adalah lawas kenangan yang dibentuk oleh serangkai kepedihan, dan nadinya adalah luka masa lalu.

Tangisnya pecah, luka menjelma beling retak perlahan dalam seribu. Lalu berderai menjadi repih atas renjana yang lantak. Bintang adalah mata hati, pijarnya adalah nurani. Ia tak pernah lelap dan terpulas serupa Dewi dalam buai alunan irama sitar satria. Ia menunggu di balik dinding bisu. Di ujung jalan yang suram ia resah, memanti-nanti kapan kiranya bahagia datang.

Angin malam menyapa di sela-sela, dalam sepi yang gigil. Banyak cerita yang ingin disampaikannya. Di antara detik-detik ia menanti, puisi dan kata lirih disenandungkan seperti burung sekarat di atas pohon—kehilangan hampir separuh nyawa. Bahkan setengah gila. Dalam gelepar rindu ia berwudhu, merapal doa-doa. Menangis. Tanpa pernah ada yang tahu air mata yang turun sebab merasa dosa atas rindu yang laknat. Dan dosa yang laknat.

Suatu kali, cinta terjatuh dalam genggamannya yang tak erat, di antara senja yang melama. Lama ia menunggu, lalu hilang begitu saja dalam arah, sudah sejak lama. Bertahun-tahun mencari, tak akan pernah ia temukan jejaknya. Sudah sejak lama pula: repih-repi bahagia telah ia cecerkan dalam arah yang bisa membawa pulang—namun tak juga ia temukan. Belum waktunya ia temukan. Baginya cinta hilang dalam senja, entah menjelma menjadi apa. Tak pernah bisa ia menebaknya. Yang ia tahu, dia silam dalam arah. Arahnya.

Sungguh memandang bintang, berharap tangan bisa menyentuhnya. Menatap langit, berharap diri bisa terbang di dalamnya. Mengejar angin, berharap dapatkan kesejukannya. Membayangkan awan, berharap tidur lelap dalam kelembutannya.

Di celah-celah bilik yang samar. Kita bisa mendengar sayup-sayup suaranya yang terbawa angin menyusuri celah-celah bilik bersama penerangan yang juga samar. Ia dan secangkir kopi yang masih mengepul. Harum juga menyeruak dari bilik yang sama. Dan saat itu ia berkata-kata:

Tuhan. Sekali ini aku benar-benar kepayahan. Aku tahu—ini adalah hidup. Berjuang untuk hidup sekalipun hidup telah jelas Kau berikan.Iya—benar lagi katamu. Ini bukan hanya sekadar berjuang untuk hidup tapi lebih dari itu. Pun benar janjimu adalah pasti. Begitu juga ujian dan cobaan di antara perjalanan ini pun pasti. Maka hanya beberapa saja yang selamat. Ah—di bagian yang manakah aku nanti? Sedang kini, aku telah benar-benar kepayahan. Mungkin setelah satu ujian terlewati, aku bisa tersenyum dan mengucap syukur karena beruntung. Tapi di balik itu, aku tahu: ujian itu akan kembali terulang. Sekali—dua kali—tiga kali. Mungkin aku beruntung tapi bagaimana yang keempat—kelima–dan seterusnya. Sekali lagi, ini bukan hanya sekadar berjuang untuk hidup.

Tuhan. Jika saja kita bisa duduk bersama sambil menikmati secangkir kopi. Kau akan mencicipi pula keterlekatan itu membunuh indera perasamu. Hanya ada sebagian atau segelintir orang yang mampu tetap sadar membiarkan keterlekatan membunuh indera perasanya. Tapi tidak sedikit pula yang berontak atau secepat kilat mengatakan tidak. Ini bukan sekadar pilihan yang selesai pada satu jawaban lalu akan menemui pilihan yang lain. Pun ini bukan hanya sekadar tulisan yang tak sengaja Kau tulis dengan ending yang menggangtung. Iya—ini juga bukan hanya sekadar cerita warna-warni kehidupan yang membuat pelangi menjadi lebih indah. Duduklah dekatku, Tuhan. Agar Kau lihat lebih jelas bingkai kaca yang meremang di antara jelaga harapku.

Tuhan. Kepulan dari gelas kopiku telah hilang. Manis telah menyatu dalam keterlekatan. Mengikat lebih kuat dari yang kita tahu. Begitu juga keterlekatan itu pun semakin kuat. Kali ini, aku telah terbiasa dengan keterlekatan itu. Tanpa sadar karena indera perasaku telah lama mati. Bahkan aku tak lagi tahu pahitnya keterlekatan itu. Pun aku tak lagi tahu rasa manis itu. Keduanya menjadi sama. Membuatku meneguknya lagi dan lagi serupa candu. Dan kini keterlekatan itu membunuhku. Aku sekarat.

Lalu sekali ini aku berpikir untuk memaknai keterlekatan pelan-pelan. Mataku terpicing awas. Formula keterlekatan bereaksi cepat sekali. Aku hampir saja lengah. Tapi aku masih memandanginya awas. Membunuh satu-satu setiap rasa dan meninggalkannya di ujung jalan. Satu-satu jiwa tumbang di persimpangan. Hingga sampai pada giliranku. Tidak juga ia mengurangi kecepatannya. Hingga aku tak lagi memicingkan mata dengan awas. Terlalu cepat dan terlalu dekat. Juga terlalu sunyi yang membungkam. Dimana ta ada suara. Tak ada gurindam. Tak ada warna. Tak ada wujud. Pun tak ada hampa. Hanya ada ketiadaan yang tak pernah ada. Ketiadaan yang tak pernah mampu menjelaskan dan dijelaskan. Begitu juga ending atas aku.

Masihkah Kau meneguk keterlekatan itu dari gelas kopiku?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline