Lihat ke Halaman Asli

Devi Afriani

Binar's Mommy

Mengeja Makna Srawung

Diperbarui: 13 Agustus 2021   23:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : www.idntimes.com

Lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang homogen, hampir membuatku menjadi pribadi yang anti toleransi. Terlebih lagi seringnya menerima nasehat untuk selalu berhati-hati dalam memilih teman, semakin membuatku membatasi diri terhadap perbedaan. Ya, sepanjang sejarah kehidupanku, aku hanya bisa akrab dengan orang yang seagama dan sesuku denganku. 

Aku memang banyak belajar tentang teori menghargai perbedaan. Tapi karena dalam kehidupan nyata aku hanya berada di lingkungan masyarakat yang suku dan agamanya sama denganku, sedikit sulit ketika teori menghargai perbedaan itu harus aku praktekkan. 

Suku dan agama selalu jadi kriteria utama yang aku perhatikan saat memilih teman. Cukup lama aku berada di fase ini. Bahkan setelah lulus kuliah aku masih begitu pemilih dan berharap dapat menemukan lingkungan kerja yang juga homogen. 

Sampai di satu titik, takdir membawaku ke salah satu dunia kerja yang jauh dari ekspetasi. Dunia kerja yang ternyata sangat heterogen. Dunia kerja yang penuh warna. Lebih dari seratus rekan kerja yang berasal dari suku, budaya dan agama berbeda.

Aku kalut. Seperti seorang introvert yang terpaksa harus berpesta. Hari-hari pertama bekerja terasa begitu lama. Tak juga mampu menemukan rekan kerja yang bisa dijadikan teman cerita. Aku bekerja hanya sebatas melakukan kewajibanku, kemudian pulang. Hingga akhirnya aku mengerti, duniaku kini tak seperti dulu lagi. 

Di sini, bukan hanya sulit, tapi juga rasanya mustahil untukku tetap mempertahankan kriteria penting dalam memilih teman yang dulu selalu aku agungkan. Benar saja. 

Orang yang Allah kirimkan kepadaku untuk menjadi sahabat pertama di tempat ini, ternyata berbeda suku dan agama dengan diriku. Beliau begitu baik. Sepenuh hati mau membimbing dan membersamaiku belajar melangkah di dunia yang baru aku pijaki. 

Awalnya, aku sempat diliputi kecemasan karena merasa tak mungkin bisa bersahabat dengan seseorang yang memiliki perbedaan latar belakang. Nyatanya, saat aku menuliskan ini, persahabatan kami telah terjalin selama hampir lima tahun. 

Beliau bahkan sudah seperti sosok seorang kakak bagiku. Hal paling mengagumkan dari sosok yang aku sebut sebagai kakak ini adalah, sikap toleransinya yang begitu luar biasa. 

Bukan hanya sekali dua kali, tapi setiap ada kegiatan yang harus melewati jadwal ishoma, dia akan selalu memberikan penawaran kepadaku apakah akan makan dulu atau shalat dulu. 

Jika aku memilih untuk shalat dulu, sepanjang shalatku itulah dia menunggu dengan nasi bungkus yang masih rapi bahkan belum bergeser dari tempatnya semula. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline