Menurut data yang dirilis oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), sejak tanggal 1 Januari 2024 hingga saat ini, terdapat 1.993 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah tersebut, 183 kasus terjadi di lingkup satuan pendidikan seperti korban kekerasan seksual, fisik, dan perundungan. Banyaknya kasus kekerasan pada anak yang terjadi di sekolah perlu menjadi keprihatinan semua pihak, baik peserta didik, pendidik, maupun warga satuan pendidikan. Sebab, sekolah merupakan tempat kedua bagi anak untuk menghabiskan waktunya. Oleh karena itu, sekolah harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi peserta didik.
Salah satu kasus kekerasan terbaru di lingkungan sekolah yaitu perbuatan pencabulan yang dilakukan oleh oknum guru agama berstatus ASN berinisial H terhadap 24 siswi Sekolah Dasar (SD) di Provinsi Bengkulu. Korban diduga berjumlah 24 anak perempuan dari kelas 4,5, dan 6 dengan rentang usia 10—12 tahun. Perbuatan asusila ini dilakukan pelaku pada 18 Januari 2024. Pelaku diduga secara sengaja menyentuh bagian-bagian sensitif anak ketika membenarkan kesalahan murid perempuan saat praktik salat di sekolah. Kejadian ini terungkap setelah ada anak yang melaporkan ke orang tua atas kejadian pencabulan yang dialami dan pelaku dilaporkan ke kepolisian setempat.
Fenomena gunung es menjadi ungkapan populer terhadap maraknya tindak kekerasan terhadap anak yang meruyak di Indonesia. Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan moral generasi muda bangsa. Namun, ketika peristiwa pencabulan terhadap siswa terjadi di lingkungan sekolah, hal ini tidak hanya menimbulkan trauma pada korban, tetapi juga mengguncang fondasi pendidikan yang seharusnya menjadi wadah pembentukan karakter dan moral siswa. Untuk mengatasi permasalahan ini, guru perlu mengimplementasikan nilai-nilai pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Nilai-nilai yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara yaitu pendidikan yang memerdekakan, sistem among, kodrat alam, kodrat zaman, budi pekerti, dan nilai budaya luhur.
Pendidikan yang memerdekakan merupakan prinsip yang harus menjadi landasan dalam mengatasi kekerasan di sekolah. Pendidikan seharusnya memberikan pemahaman tentang Hak Asasi Manusia, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Ki Hadjar Dewantara menekankan pentingnya memberikan ruang bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan potensi dan minatnya serta menciptakan lingkungan belajar yang membebaskan siswa dari segala bentuk penindasan dan kekerasan. Pendidikan yang memerdekakan dapat menciptakan lingkungan belajar yang mendukung, aman, dan nyaman. Guru dan sekolah harus dilibatkan dalam upaya pencegahan tindak kekerasan dengan menciptakan mekanisme laporan yang aman bagi siswa yang mengalami kekerasan.
Sistem among juga memiliki peran penting dalam menangani kasus kekerasan di sekolah. Guru memiliki tiga asas utama dalam sistem among yaitu di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang mendukung serta mengevaluasi. Menurut Ki Hadjar Dewantara, para guru semestinya mampu menjadi pamong yang mendidik siswa dengan penuh kasih sayang. Kasus pencabulan menunjukkan kegagalan dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung. Melalui sistem among yang kuat, diharapkan siswa merasa nyaman melaporkan kasus kekerasan tanpa takut akan balasan atau stigmatisasi.