Aku tak bisa menyusun deret kata sehingga terlihat bernyawa. Aku tak sanggup membuat setiap kalimat menjadi ironi yang nyata. Bahkan aku tak mampu, mengeja setiap huruf demi huruf untuk membungkam kata lewat suara. Aku hanya menekakkan pena, agar dapat menari-nari diatas tabula. Entah akan seperti apa jadinya, tapi aku berusaha. Menyelipkan secuil keberanian yang ada.
Aku juga ingin jadi sepertinya. Merangkai setiap bagian hingga berdetak, bernyawa. Aku ingin menjadi sepertinya. Para pujangga yang membawa roman suka cita. Tapi, mana mungkin aku bersanding sejajar dengan mereka. Jika kata saja tak punya. Jika membedakan titik dan koma saja, aku tak bisa.
Mana mungkin aku bisa membawa rona bahagia. Jika raut penuh amarah. Aku menunggu waktu membawa nada-nada. Agar aku juga dapat bernyanyi lagu rindu. Membungkus setiap luka dan lara, yang terselubung dibalik ucapan penuh kebencian.
"Aku hanya lelaki, yang juga ingin mengganti duka dengan suka. Menegadahkan kepala kepada mentari senja. Seraya berkata! Aku sedang belajar, menulis puisi cinta."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H