Lihat ke Halaman Asli

Ironi Lansia

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Aku ke Jakarta mencari anakku, tapi malah menetap di sini bersama mereka..”

Pria renta yang kutaksir berumur 75 tahun itu menunjuk pada kumpulan pria-pria dan juga wanita-wanita renta seusianya, yang tengah asyik menonton berita di televisi. Aku tersenyum, sambil menyendokkan kembali bubur bertabur abon itu ke dalam mulutnya.

“Memangnya Kek Gono tahu alamat rumah anaknya?”

Kakek yang satu bulan penuh ini berada dalam perawatanku tak menjawab pertanyaan terakhirku padanya. Dia hanya menggeleng pelan, sambil berusaha menelan makanan di dalam mulutnya.

Nekat sekali, pikirku. Tapi, bukan hanya Kakek Gono saja yang nekat ke Jakarta demi mencari anak mereka yang seakan lupa jalan pulang. Membiarkan ibu dan ayah mereka yang sudah renta kembali menegakkan badan yang sebenarnya sudah rapuh terperas untuk membesarkan anak-anak yang biasa kami para perawat sebut ‘amnesia’. Yang lupa untuk menjenguk kembali orangtua, yang membesarkan mereka dalam nafas yang tercekik, entah karena deretan harta yang mengisi otak mereka atau malah karena malu karena keadaan orangtua mereka yang sangat kusut.

Ya. Kusut, dekil dan hampir sekarat. Kebanyakan lansia yang kami temui berada dalam keadaan seperti itu. Kakek Gono, misalnya. Aku menemukannya terbaring di halte bus dengan tubuh super dingin dan basah kuyup karena hujan deras yang mengguyur Jakarta 18 Januari silam. Momen paling beruntung, karena kami menemukan beliau tepat pada waktunya, tepat satu hari sebelum banjir merendam sebagian kota Jakarta.

Atau bahkan yang lebih tragis, seperti nenek Siti. Salah seorang temanku mendapati beliau dalam kondisi kejiwaan yang sangat memprihatinkan. Hingga saat kondisi psikologisnya pulih, dan ia mulai bercerita kepada kami semua, para perawat.

“Aku arep ketemu anak aku.  Tembung wong sadesa,  dheweke wis kedadeyan,  tandhang gawe neng Jakarta. Mulane aku mrene, gawa opor padha tumis sing dheweke dhemen.  Ning, wektu nganti neng kene, aku nyalah neng jambret.  Dhuwit sing kudune kanggo ongkos, lan kalung emas siji-sijine benda pangaji aku ilang.  Loro dina aku ora pangan.  Nyalahan, aku neng tangkep polisi, neng kira arep maling.”

Aku ingat, setelah mendengar habis cerita nenek Siti, kami semua para perawat menangis tidak karuan. Air mata kami semua entah bagaimana tumpah, mengingat semua yang dihadapi oleh beliau sendirian, di tengah-tengah kota Jakarta yang kejam. Lebih kejam lagi anaknya. Karena dari pengakuan beliau, anaknya sudah 10 tahun tidak kembali.

Kutatap wajah renta kek Gono dengan kulitnya yang sudah menggelayut dimakan usia. Kulitnya yang hitam aku yakini sebagai kerja kerasnya, bersamaan dengan telapak tangannya yang terasa tebal serta semua urat yang begitu tercetak jelas menjalar di tangan.

“Maya, Ibu Retno nunggu kamu di ruang tamu.”

Kualihkan pandanganku menatap Sari yang menepuk pundakku pelan.

“Ah, sudah datang?”

“Baru saja. Ada Oma Maci juga disana.”, jawab Sari lalu mengambil mangkuk bubur kek Gono dari tanganku. “Biar aku yang suapi kakek.”

Oma Maci? Ah..

Aku pun bergegas, berlari menuju ruang tamu tempat Ibu Retno dan Oma Maci-ku berada. Dan tepat disana, kulihat mereka berdua tengah santai menikmati teh dan sesekali tertawa ceria.

“Oma?”, panggilku.

Wanita renta yang sudah kukenal selama empat tahun itu tak menjawab panggilanku, melainkan tersenyum lebar menatapku dan  melambaikan tangannya padaku. Aku mendekatinya, lalu langsung memeluknya seakan rasa rinduku padanya  ini tak bisa kupendam lagi lebih lama.

“Aku kangen oma..”, gumamku lirih.

Dan kemudian aku bisa merasakan kedua tangannya menepuk punggungku lembut, begitu lembut seperti  seorang nenek mengelus cucunya, meskipun sebenarnya aku bukanlah cucunya.

“Oma juga, sayang..”

Kami berdua melepaskan pelukan kami, dan bisa kulihat wajah bu Retno yang terlipat seakan-akan cemburu dengan kedekatan kami.

“Ya ampun, bu Retno. Saya cuma sekali bisa meluk Oma, bu Retno ‘kan bisa setiap hari..”, celetukku, membuat bu Retno tertawa sumringah.

Ya. Bu Retno memang bisa memeluknya setiap hari. Karena dialah anak perempuan Oma Maci satu-satunya, yang begitu menyayanginya. Oma Maci dulu sempat menetap di panti ini, namun satu tahun kemudian,datanglah  bu Retno kesini. Tak bisa kulupakan seberapa kencang tangisannya saat ia melihat Oma Maci kutuntun menemuinya. Mereka berdua menangis begitu hebat, saling berpeluk seperti enggan terpisah lagi. Dan kemudian, kami mendengar kisah pencarian bu Retno akan Oma Maci yang menghilang dari rumahnya di Surabaya. Pencarian letih yang membuahkan hasil yang berujung baik.  Juga menghapus citra buruk tentang anak-anak amnesia yang tak ingat siapa orangtuanya.

“May, Oma mau nginap sementara di sini. Dia bilang, dia kangen sama teman-temannya di panti.  Boleh,’kan?”

Aku mengangguk cepat. Ya, tentu saja. Karena panti ini selalu terbuka untuk semua orang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline