Lihat ke Halaman Asli

Apocalypse - The Gazette (Chap 1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

P R O L O G U E



Tokyo, 29 Februari 2028.

Matahari yang belum datang menyambut sejatinya mengartikan permulaan pagi yang belum tiba. Namun pemandangan ramai sesak yang melingkupi hampir keseluruhan area dari gedung pencakar langit itu kembali terlihat, sama seperti kemarin.

Ratusan orang yang berkumpul, pria dan wanita, usia muda bahkan renta nampak menunggu dengan rona tegang yang terlukis begitu sempurna di wajah mereka. Mereka bukanlah orang-orang asing yang tak saling mengenal satu sama lain. Mereka bukanlah massa yang bergerak untuk berdemo di depan gedung yang lebih dikenal sebagai Mirai Shinbun. Mereka adalah sekumpulan manusia yang  ketakutan, jika tak mau dibilang sebagai calon-calon fanatik Mirai Shinbun yang terlalu waspada dengan apa yang akan terjadi pada mereka, di hari esok, dan menempatkan nasib mereka pada surat kabar belaka itu.

**

I. The Fear of Starting Out

“Huh. Otak jeniusmu bahkan ikut tercuci dengan doktrin-doktrin konyol mereka, Kei.”

Pria bertubuh tinggi tegap itu memilih kembali menikmati secangkir kopi panasnya, sementara pemuda yang baru saja ia panggil ‘Kei’ itu meliriknya sinis.

“Yah, kau boleh mengejekku seperti itu, Haka. Tapi kau harus ingat dengan kenyataan kalau apa yang mereka tulis di Mirai Shinbun itu memang benar terjadi.”

Haka menempatkan kembali cangkirnya di atas meja, menggeleng-gelengkan kepalanya menyadari bahwa pikiran jernih adik kesayangannya tersebut sudah terkontaminasi hal-hal absurd yang tertulis di Mirai Shinbun. Ya. Surat kabar yang mendefinisikan keberadaan mereka sebagai ‘petunjuk keselamatan’ itu entah bagaimana sudah meracuni pikiran semua orang di Jepang.  Mereka yang biasanya selalu menggunakan akal sehat dalam menjalani kehidupan mereka kini nampak tak lebih seperti boneka yang menunggu skenario mereka dibacakan oleh narator. Berharap tak akan mencecap kejadian buruk dan menantikan seluruh kejadian baik. Menuhankan Mirai Shinbun yang dikelola para manusia, satu spesimen yang diciptakan sedemikian rupa oleh Tuhan, yang setiap masing-masingnya diberikan satu otak untuk berpikir dan satu hati untuk merasa. Jenis yang sama seperti mereka.

“Oh,ya. Hari ini aku ingin datang ke Mirai Building. Kau mau ikut?”

Haka mengalihkan pandangannya, menatap Kei yang kini begitu antusias menunggu jawabannya.

“Hhh.. Jika aku ikut, bisa kupastikan kalau bulan depan, kita, kau dan aku, akan menginap lagi di kantorku karena gaji bulananku akan dipotong jika aku absen hari ini. Bagaimana?”

**

“Mi-ra-i-Shin-bun.”

Ray melemparkan pena hitam miliknya telak mengenai kepala plontos Arai, sang rekan kerja yang kini mengadih kesakitan.

“Hei, kau ini kenapa? Kenapa melempariku, hah?”, tanya Arai menuntut penjelasan.

“Sekali lagi kau sebutkan nama itu, akan kucabut bulu hidungmu.”

“Woh.. Apa kau kalah taruhan lagi kemarin, Haka? Kenapa harus sesarkas itu..”

Berat suara mendesah itu terdengar jelas ditelinga Arai, membuatnya mendengus dan  tersenyum.

“Sepertinya tingkat kebencianmu dengan surat kabar itu semakin bertambah setiap hari, ya, Haka.”

Haka menggelengkan kepalanya pelan. Ia kemudian memilih untuk bersandar di kursi kantornya, melemaskan seluruh otot-otot kakunya.

“Bukannya benci pada surat kabar itu. Hanya saja, lama-kelamaan aku gusar dengan mereka yang seakan-akan tidak bisa hidup tanpa surat kabar itu. Huh. Tak ada bedanya lagi dengan nasi yang harus kau makan setiap hari. Lagipula, bagaimana bisa kau menggantungkan nasibmu hanya pada surat kabar itu?”

Arai menarik kursi kantornya, menempatkannya tepat di samping Haka. Ia tahu, obrolan ini akan menjadi lebih panjang dan bukan sekedar intermesso antar teman.

“Yah.. Kupikir mereka hanya ingin tahu tentang apa yang akan terjadi besok, Haka. Itu sifat dasar manusia, bukan? Mereka selalu ingin tahu. Jadi yang pertama untuk tahu. Hanya saja, kapasitas yang aku bicarakan saat ini bisa dihitung dengan jari.”

“Entahlah. Aku benar-benar tidak habis pikir, Arai. Mereka semua  pernah melewati masa kecil mereka hingga minggu kemarin tanpa surat kabar itu, dan mereka baik-baik saja, masih hidup setidaknya sampai  hari ini. Apa yang mereka takutkan?”

“Bukankah jawaban klise yang akan kau dapatkan?”, Arai tersenyum sinis menatap Haka.

“...”

“Manusia adalah makhluk yang punya sejuta ketakutan, Haka. Yang kaya takut akan menjadi miskin, yang sehat takut apabila sakit. Yang muda dan cantik, takut menjadi tua dan jelek. Yang terkenal takut apabila diabaikan. Huh. Tapi.. Bukankah dari semua ketakutan itu, bukankah takut menghadapi kematian adalah ketakutan  terbesar di dalam hidup semua manusia? Kurasa doktrin itulah yang mendorong mereka untuk membacanya.”

Haka terdiam untuk sejenak. Apa yang Arai katakan sepenuhnya adalah kebenaran. Ya, sangat benar.

**




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline