Ajakan Penggunaan Praktik Jasa Psikolog Sebagai Upaya Menghindari Perilaku Self- Diagnose
Kita sangat amat sering mendengar ungkapan yang terkesan mengambing hitamkan Generasi Z sebagai pribadi yang lemah secara mental. Stigma tersebut berkembang di masyarakat baik melalui dunia maya, ataupun di lingkungan sekitar kita. Hari ini kita sering terpapar dengan konten-konten edukasi psikolog. Konten tersebut mengenalkan kita akan banyak istilah dari psikologi, dan bermacam-macam penyakit kejiwaan ringan (contoh: depresi, gangguan kecemasan, panik, traumatik, psikosomatis).
Hal tersebut memiliki dampak positif bagi masyarakat masa kini karena telah memberikan kita suatu wawasan untuk mengenal lebih luas kesehatan mental ringan. Namun hal tersebut dapat menjadi boomerang bagi beberapa audiens yang menerima informasi konten praktis tersebut secara mentah dan terkesan sering menjadi seorang yang mendiagnosa dirinya sendiri (self-diagnosis) dengan penyakit istilah-istilah psikologis untuk sebagai excuse “dalih” untuk mentoleransi pelanggaran ia sebagai pribadi maupun di kehidupan di lingkungan sosial.
Contohnya pelanggaran yang sering terjadi, misal di kehidupan sosial ialah kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, playing victim dan manipulative untuk menyelamatkan atau menguntungkan diri sendiri di suatu keadaan pada kelompok sosial. Ataupun yang merugikan dirinya sendiri yang berupa self-destructive contohnya seperti menyiksa diri, alkoholik, penggunaan obat psikotropika, dan dapat berujung bunuh diri. Self-diagnosis adalah mendiagnosis atau mengklaim diri sendiri sebagai orang yang mengidap sebuah penyakit berdasarkan pengetahuan dan informasi yang didapatkan secara mandiri tanpa dibantu dengan orang yang profesional.
Fenomena Self-Diagnose yang beriringan dengan wawasan tentang penyakit mental, berkembang dari munculnya konten-konten di media sosial. Media sosial dipenuhi oleh para remaja yang melakukan self-diagnosis terhadap kesehatan mentalnya dan menganggap hal tersebut sebagai hal yang keren dan estetik untuk dipublish. Mereka seakan-akan sedang berlomba-lomba menunjukkan kesedihan dan penderitaan mereka.
Bagi orang yang sedang menjalani masalah kehidupan ada poin relatable atau hubungan apa yang ia rasakan dengan dengan konten teori psikologi praktis tersebut. Ramuan konten-konten adu nasib yang dicampur dengan teori psikologi menghasilkan istilah “standar tiktok” yang sering digunakan para remaja yang moody-an untuk mendeskripsikan dirinya sendiri bahwa ialah paling benar dan mengalami ketakutan/kecemasan emosional, padahal dia belum memiliki diagnosis dokter dan hanya berdasarkan referensi konten-konten yang ia lihat di media sosial.
Tren ini seharusnya kita hindari dan sudahi secepatnya karena sangat berdampak buruk bagi karakter dan mental para remaja yang kian hari terlihat semakin sensitif dan mudah pesimistik bila dihadapkan dengan masalah. Hal tersebut yang memperkuat stigma masyarakat akan lemahnya mental generasi masa kini, dikarenakan seringnya penggunaan istilah psikologi yang ia terima dari konten-konten untuk menganulir dan mentoleransi sebagai pembenaran pelanggaran yang diperbuat, contohnya kedisiplinan di lingkungan kerja, di kehidupan bersosial, maupun di keluarga. Namun, tidak bijak rasanya untuk mengutuk satu generasi dengan stigma tanpa memberikan solusi, ataupun penanganan yang tepat, yaitu menormalisasi dan ajakan untuk melakukan periksa dengan psikolog professional.
Mengacu pada data dari Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), sekitar 1 dari 10 orang di Indonesia mengidap gangguan mental. Dalam data yang sama, Riskesdas 2018 mengungkapkan bahwa lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun di Indonesia mengalami gangguan mental emosional. Selain itu, lebih dari 12 juta orang dalam kelompok usia yang sama mengalami depresi.
Di tengah maraknya pemahaman orang akan kesehatan mental, namun ironisnya masih banyak orang yang tidak ingin atau mampu pergi ke psikolog untuk berkonsultasi mengenai masalah gangguan mental miliknya. Kebanyakan dari orang tersebut merasa apa yang ia rasakan belum seberapa, dan hanya membutuhkan validasi dan support dari orang lain. Tanpa disadari dari rasa sakit yang disebarkan awalnya melalui curahan hati tersebut, namun lama-lama akan semakin merasa menghabiskan energi orang sekitar, apabila tidak ditangani oleh psikolog professional.
Sesuai dengan Kemenkes Direktorat Jendral Pelayanan Kesehetan, Ada beberapa faktor yang mempengaruhi orang melakukan self-diagnosis, yaitu: 1. Takutnya pada stigma penghakiman ketika bercerita ke psikolog, 2. Biaya psikolog, 3. Kebanyakan orang lebih memilih nyaman dengan meromantisme dan mengobatinya dengan validasi di kehidupan bermedia sosial. Faktor tersebut sesuai dengan kenyataan mengapa kebanyakan remaja tidak pergi ke psikolog dan memilih untuk melakukan self-diagnosis ialah kesenjangan usia, Generasi Z yang lahir di usia 1997-2012 pada saat ini adalah generasi yang memasuki fresh graduate, dan beberapa masih mengenyam pendidikan sekolah.
Kebanyakan dari mereka merasa tidak memiliki akses karena tidak cukup memiliki uang sendiri untuk biaya melakukan pengobatan praktik di psikolog, merekapun merasa tidak percaya diri untuk menceritakan permasalahan pribadi psikologis ke keluarga atau orang tua wali yang membiayainya dikarenakan masih adanya stigma negatif di generasi pendahulu, yang lebih sering dinasehati melalui pendekatan rohani dan agama, yang padahal hal tersebut tidak salah, namun kurang tepat untuk penangan pertama pada penyakit mental, contoh yang sering kita dengar sebagai anak ialah nasihat bahwa depresi karena kurang dekat dengan Tuhan.