Lihat ke Halaman Asli

Bunuh Diri Oleh: Devan Altop

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hengki terkejut ketika datang ke rumah Ana mendapati Ana sedang menangis di perbukitan villa belakang rumahnya. Hingga sosok Ana terlihat jelas di sisi jurang,dan tampak putus asa. Dia seperti bingung, tatapnya pun kosong melompong. Terlihat,dari matanya yang sipit mengurai air mata. Matanya sembab, memerah delima, sepertinya dia dalam keputusasaan.

“Ana, ada denganmu? Kamu menangis ...?” Tanya Hengki mengiba.

Ana pun terkejut seketika, ketika dikejutkan oleh kedatangan Hengki, sepertinya tak suka diganggu.

“Ah ... kamu, ngapain ke sini!” Nada ketus itu terlontar dari mulut Ana.

“Ya, enggak. Aku si cuma mau ngasih novel terbaruku, baru aja terbit di Gramedia.” Tukas Hengki.

Ana terdiam, sedikit pun tak bergeming. Matanya pun tak menoleh pada Hengki. Bahkan gerak tubuhnya seperti mematung dan tertegun. Hanya air matanya yang terus menetes dikelopak matanya yang sendu.

“Ana ...? Kamu tak apa-apa, kan?” Tanya Hengki khawatir.

“Ngapain kamu datang ke sini. Pergi!” Tiba-tiba Ana marah mengusirnya. Tatapnya pun terlihat kecut dan sinis. Lagi-lagi Ana terdiam, bahkan keangkuhannya pun mencurigakan. Hengki merasa ini tak nyaman lagi, kalau-kalau Ana akan nekad melakukan yang tidak-tidak.

“Ana ...? Kamu tidak lagi kemasukan setan, kan?” Gegas Hengki langsung sigap melihat gelagatnya yang semakin aneh dan langsung menarik cepat lengannya, hingga terjatuh bersamaan. Tentu Hengki terlihat sedikit kewalahan ketika bobot tubuh Ana mengembal di paha kanannya yang terduduki. “Heeeug!” Suara Hengki menghela sesak.

“Hiiy, kamu apa-apaan si Hengki. Aku tak apa-apa, kok?” Ucap Ana merasa risih sikap Hengki yang terlalu berlebihan, hingga membawanya menjauhnya dari tepi lubang jurang itu, yang menjulang ke tepi danau perumahan villa tersebut.

“Pasti gegara si Parno pacar barumu, kan?” lanjut Hengki menanyakan kembali saat suasannya sedikit tenang dan lega.

“Cukup, Hengki! Jangan sebut nama dia lagi! Aku muak mendengarnya, dasar dia menjijikan! Dia sungguh, keterlaluan Ki. Bacalah surat ini ... ” Langsung surat itu dikasihkan pada Hengki, hingga Hengki membacanya.

“Dear Kikindi,”

“Maaf, sepertinya kamu itu wanita yang membosankan. Tidak modern dan parasmu banyak jerawatan. Lihat lah bodimu ... semakin haritak membentuk gitar, bahkan terlihat dengan wujud aslimu yang bomber.”

“Kamu tahu, aku mencintaimu karena uangmu tak lebih dari itu. Kupikir kamu wanita kaya dan berkelas. Ternyata ... kamu tak jauh dari wanita biasa, si tukang soto mie bihun,”

“Aku kecewa banget ... kalau kamu wanita yang tak berguna untukku. Karena memang tak pantas untuk lelaki sepertiku yang ganteng dan berkelas.”

“Mengapa aku selalu romantis padamu, karena memang aku sejujurnya kupikir kamu wanita yang memang berkelas dan kaya raya, ternyata kamu hanyalah anak seorang pembantu di komplek mewah ini. Padahal aku hanya membutuhkan dan memanfaatkanmu.”

“Maaf ya brot, aku mau jujur sama kamu. Aku adalah lelaki matre, yang memang pandai meramu cinta.”

“Terimakasih, dari Parno, daaah.”

Dan Hengki pun hanya menatap bengong ketika surat itu sangat menyakitkan sekali untuk seorang wanita dan bagi Ana sendiri. Bahkan menurut Hengki ini keterlaluan, karena secara sikologis bisa menghancurkan jiwa seseorang yang rapuh, apalagi ini pada kekasihnya sendiri, yang sudah taraf ke arah yang serius.

“Ini sangat keterlaluan! Kok, bisa ya ada lelaki matre bah gigolo. Dasar cumi!” Pikir hengki dengan hati yang kesal, dan mencibir.

“Lagian ... namanya aja enggak elit banget, Parno. Jorse banget namanya ... hihihi, habiiis aku yang udah dua tahun menunggu enggak ditoel-toel, dicuekin melulu. Rasain akibatnya. Eh ... ketahuan enggak ya ekpresi wajahku ...” Decak Hengki bergundah dalam hati.

Hengki pun kembali memandang iba pada Ana, pipinya yang cabi dan tembem menurutnya itu adalah seksi alami. Sesuatu yang natural bagi seorang wanita. Apalagi tubuhnya yang gempal, Hengki membayangkan sepring bed itu kasur paling mahal di dunia ini. Karena Hengki sangat menyukai Ana yang memang wanita sederhana dan apa adanya.

“Sudah lah, Ana. Seharusnya kamu bersyukur, masih diselamatkan oleh caplokan buaya buntung itu. Dia lelaki tak pantas untukmu, bahkan derajatnya tak sebanding denganmu yang luhur. Dia lelaki sampah, Ana?” Ucap Hengki menenangkan Ana.

“Dia keterlaluan Hengki ... kenapa saat aku sudah merasa dekat dan mencintai, baru mengatakannya. Aku sudah terlanjur mencintai Ki. Bahkan separuh jiwaku, sudah ada di dalam dirinya Ki. Tiap mau makan aku selalu mengingat dia, tidur juga, bahkan mau mandi pun aku selalu terbayangi oleh dia Ki?” Sahut Ana dengan hati yang pilu.

“Kaya lagu aja, Na. Yang di depan mata aja dianggurin, hik!” Decak Hengki ngedumel, karena Hengki merasa cintanya hanya bertepuk sebelah kanan parkiran.

Namun, secara tak terduga entah kenapa tiba-tiba Ana tanpa aba-aba lagi beranjak dan berdiri, kemudian nekad berlari menuju lubang jurang yang ada di samping Villa baru yang sedang dibangun.

“Tunggu Ana, kamu jangan nekad!” cegah Hengki mengejarnya.

“Lebih baik aku mati Ki, dari pada aku tersiksa karena cinta. Hatiku pedih Ki ... perih ... sungguh aku tak kuat dengan semua ini. Aku tak percaya dengan semua ini!” Sambil berlari Ana nekad menuju lubang jurang itu dengan nanar wajah yang pucat dan tak berekpresi.

Hengki tak bisa berbuat apa-apa lagi, ketika sosok Ana sudah berdiri tegap tepat berada di lubang itu.Bahkan tatapan Ana seperti sudah terasuki iblis gondrong. Air matanya berulangkali menetes resah, hingga jiwanya rapuh tak berdaya, hingga Ana tetap memutuskan ingin melakukan bunuh diri.

“Ingat Ana, berputus asa itu bukan jalan Tuhan ...? Dan kamu tahu, semua orang terdekatmu akan sedih kehilanganmu. Jangan lakukan Ana!” Sergah Hengki berusaha mencegahnya dengan halus.

“Tidak Hengki, aku harus terjun dalam lubang jurang ini, biar kan aku mati sekalian. Biar kesedihanku terhapus semuanya dan tak ada yang direpotkan olehku. Maaf kan aku ya, Ki ... salam maaf untuk semuanya.” Sahut Ana ucapan terakhirnya.

“Ya sudah, nyebur aja sekalian! Yang ada bukannya mati, malah bau tinja. Itu kan lubang WC yang lagi diperbaiki. Lubang jurang sebelah sana kok, masih jauh,” timpal Hengki, cuek bebek.

“Whaaaaaaaaaaaaaaat?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline