Lihat ke Halaman Asli

MEA Semakin Dekat, Sudah Siapkah Tenaga Kerja Indonesia?

Diperbarui: 12 Desember 2015   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MEA, ya Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economy Community (AEC) akan segera tiba dan berlaku di seluruh kawasan ASEAN. Tak hanya di Indonesia, negara-negara di kawasan ASEAN juga bersiap untuk menghadapi sebuah babak baru di segala bidang, termasuk ketenagakerjaan. Dimana mulai awak tahun 2016, warga negara asing akan bebas untuk bekerja di Indonesia ataupun sebaliknya. Hal ini akan membuat persaingan di antara negara-negara ASEAN semakin ketat.

Dalam rangka meningkatkan daya saing kawasan ASEAN secara keseluruhan di pasar dunia, dan mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan serta meningkatkan standar hidup penduduk Negara Anggota ASEAN, itulah beberapa alasan yang membuat seluruh Negara Anggota ASEAN sepakat untuk segera mewujudkan integrasi ekonomi yang lebih nyata yaitu ASEAN Economy Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Keterlibatan masing-masing negara dalam kerjasama, baik multilateral maupun regional, memiliki kepentingan sendiri-sendiri, begitu pula Indonesia memiliki kepentingan sendiri dengan kerjasama ASEAN. Kesediaan Indonesia bersama-sama dengan sembilan Negara ASEAN lainnya membentuk ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2015 didasarkan pada keyakinan atas manfaatnya yang diharapkan bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kawasan ASEAN.

Dengan datangnya MEA, datang pula tantangan bagi Indonesia. Yaitu mampukah tenaga kerja Indonesia bersaing dengan tenaga kerja asing? Untuk saat ini daya saing tenaga kerja Indonesia bisa dikatakan masih kalah dengan tenaga kerja asing. Untuk mencegah banjirnya tenaga kerja terampil dari luar, Indonesia harus dapat meningkatkan kualitas tenaga kerjanya agar bisa digunakan baik di dalam negeri maupun di kawasan ASEAN.

Kemudian mampukah tenaga kerja Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri? Pada era MEA, khususnya sektor ketenagakerjaan tidak hanya diukur dari besaran upah pegawai di Indonesia dibandingkan dengan yang ditetapkan oleh pemerintah negara lain. Hanya saja, ukuran tenaga kerja dalam MEA dilihat dari kompetensinya. Maka dari itu pemerintah di tuntut untuk membuat suatu kebijakan dimana bisa menaikkan kompetensi yang dimiliki oleh tenaga kerja Indonesia agar tak kalah di negeri sendiri maupun dalam persaingan saat MEA.

Selaras dengan itu Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri mengatakan, "Makanya kita terus melakukan berbagai terobosan untuk mempercepat peningkatan kompetensi tenaga kerja kita, termasuk sertifikasi kompetensinya." (Rabu, 2/11/2015). (sumber: liputan6.com)

Jika kita tidak segera berbenah, bukan tidak mungkin tenaga kerja kita tak akan mampu bersaing di kawasan ASEAN. Bahkan di dalam negeri pun bisa saja kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Padahal Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara pastinya mempunyai jumlah tenaga kerja yang tidak sedikit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2015, jumlah angkatan kerja Indonesia sebanyak 122,4 juta orang. Namun jumlah orang yang bekerja baru sebanyak 114,82 juta. Sementara jumlah pengangguran sebanyak 7,56 juta orang. Dari jumlah angkatan kerja tersebut masih didominasi oleh pekerja yang berpendidikan rendah. Artinya kita memang harus segera membenahi kompetensi tenaga kerja kita jika masih ingin bersaing saat MEA nanti.

Untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja Indonesia, dibutuhkan pelatihan yang berkualitas juga. "Saya mengajak dan mengimbau agar kita bahu membahu, melakukan gerakan bersama secara nasional untuk berkontribusi agar tenaga kerja kita yang sangat banyak jumlahnya itu dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kita harus mampu bersaing dalam ruang lingkup regional ASEAN," kata Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (5/12/2015). (sumber: liputan6.com) Dengan peningkatan kualitas pelatihan diharapkan kompetensi tenaga kerja Indonesia juga bisa bersaing dengan tenaga kerja asing.

Selain itu yang tak kalah penting adalah peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Dulu banyak negara di kawasan ASEAN yang jauh-jauh datang ke Indonesia hanya untuk belajar. Namun sekarang hal itu sudah berubah 180°. Bukannya Indonesia yang menjadi poros dalam hal pendidikan, akan tetapi justru negara-negara yang dulu belajar pada Indonesia saat ini sudah mampu menjadi poros atau acuan dalam hal pendidikan. Ini seperti sebuah ironi dimana dulu Indonesia sebagai panutan tapi sekarang justru Indonesia yang harus belajar dari negara lain.

Mungkinkah dunia pendidikan mereka lebih cepat berkembang? Atau justru kita yang hanya jalan di tempat saja? Menurut rilis yang di keluarkan hari Rabu (13/5) oleh BBC dan Financial Times, daftar kualitas pendidikan negara anggota OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi Pembangunan) hasilnya Singapura dinobatkan sebagai negara yang memiliki kualitas pendidikan terbaik sedunia. (sumber: merdeka.com) sedangkan Indonesia hanya menempati urutan 69. Peringkat yang jelas kalah jika dibandingkan dengan Malaysia (52) atau bahkan Thailand (47). Mungkin ini yang menyebabkan Indonesia kini tidak lagi menjadi poros dalam hal pendidikan.

Jika di tanya apa yang membedakan kualitas pendidikan yang ada di Indonesia dengan negara lain? Mungkin jawabnya adalah mereka (negara lain) fokus untuk memperbaiki kualitas tenaga pendidik yang mereka miliki. Karena kualitas pendidikan juga ditentukan oleh kualitas tenaga pendidiknya. Bahkan sepertinya di negara lain profesi sebagai guru atau tenaga pendidik adalah salah satu profesi yang sangat di segani. Bahkan negara lain rela menggaji lebih untuk para pendidik agar kualitas pendidikan mereka bisa lebih baik lagi. Tak heran jika pendidikan mereka berkembang pesat sampai saat ini.

Jika kita bandingkan dengan di Indonesia, kesejahteraan pendidik sepertinya belum terpenuhi. Banyak tenaga pendidik yang masih menjadi tenaga honorer dengan upah yang minim, atau bahkan mereka yang rela mengajar tanpa upah di daerah pedalaman demi membuat anak bangsa menjadi pandai. Ini bisa jadi alasan mengapa jarang mahasiswa yang setelah lulus ingin menjadi tenaga pendidik karena kesejahteraan pendidik belum bisa terpenuhi. Sepertinya hal ini luput dari pandangan kita semua atau memang sengaja tak kita pandang?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline