Lihat ke Halaman Asli

Senen, Kota “Murah” di Jakarta

Diperbarui: 20 Januari 2017   08:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para pedagang vintage di Pasar Senen berjualan di lapak trotoar pasca kebakaran yang terjadi April 2014 lalu. Foto diambil Minggu (2/11/2014). || Kompas.com/Robertus Belarminus

Sepulangnya aku dari Kompasiana Modis yang digelar Sabtu, 27 Maret 2010 di Hotel Santika Premier Jakarta, aku bertandang ke Pasar Senen. Sebenarnya tanpa ada rencana khusus untuk datang ke sana. Tujuan utamaku adalah berjalan keliling Jakarta tanpa harus bersentuhan dengan mall. Rencana semula adalah ingin naik busway tanpa ada tujuan khusus, walaupun sempat terpikirkan ingin menikmati suasana Tanjung Priuk, yang kata kebanyakan orang luar biasa panas dan kering. Tapi karena teriknya matahari, aku berbalik arah ke Senen.

Tempat pertama yang aku kunjungi adalah tempat baju bekas. Harganya luar biasa 5.000 rupiah!!!!!!!!! Aku heboh sendirian karena ini kali pertama aku melihat dengan mata kepalaku sendiri sebuah baju dengan harga 5.000 rupiah. Sebelumnya, aku pernah ke Senen tapi belum pernah datang ke tempat jualan baju bekas. Aku kaget dan ikut antusias dengan pembeli lain untuk memilih-milih baju di sana tapi entah aku yang kurang beruntung atau karena apa, yang pasti aku tidak berhasil menemukan baju yang menarik di sana. Suasananya seru dan membuat aku merasakan aura Jakarta jaman dulu.

Tapi berhubung perut sudah tidak bisa berkompromi lagi, aku dan temanku berhenti sejenak untuk mencari makanan yang enak di kawasan Senen. Di sudut pasar, aku melihat sebuah menu makanan yang sungguh sulit aku tolak yaitu Sate Padang Goyang Lidah. Hahaha…aku pun langsung tanpa basa-basi memesan sate padang 1 porsi dengan kuah yang banyak (maklum aku suka sekali dengan bumbu Sate Padang). Setelah menyantap Sate Padang dengan lahap, aku meyakini bahwa bukan karena aku lapar Sate Padang tersebut menjadi enak tapi memang karena bumbu Sate tersebut terasa sekali jadi aku menilai Sate Padang tersebut maknyussss Mandeee, perjalanan pun diteruskan.

Aku masuk ke gang-gang pasar yang becek, kotor dan berbau tidak sedap. Hingga sampailah aku di tempat pusat jualan jam. Aku melihat beraneka ragam jenis jam yang dijual. Dari untuk anak-anak, remaja hingga untuk kalangan dewasa. Mataku melihat sesuatu yang menarik di sana yaitu berbagai jenis jam anak-anak dengan karakter kartun masa kini. Ada Spongebob, Naruto, Dora, Doraemon, Ben10, Barbie, Strawberry. Membuatku teringat dengan ketiga keponakan dan sepupu-sepupuku yang masih anak-anak. 

Akhirnya aku mendapatkan 4 jam tangan yang kalau ditotal hanya 52ribu, itupun sudah melalui proses tawar-menawar. Aku senang saat itu karena harga murah tapi barangnya tidak terlihat murahan. Tapi kesenangan itu hanya berlangsung beberapa menit. Karena matahari tampaknya sedang agresif akhirnya aku memutuskan untuk ke Senen Plaza, sebuah pertokoan yang baru dibangun, Cat masih putih, masih banyak toko yang tutup dan toilet umum masih bersih (hehehe…). 

Dan eng..i..eng..harga jam yang aku beli dengan berpanas-panasan ternyat lebih mahal 50% persen dibandingkan harga jam yang dijual di dalam Senen Plaza, mall baru dan ber-AC! Aku kaget dan sebal seketika. Tapi yach mau dikata apa…..ikhlas saja. InsyaAllah berkah.

Karena sudah cukup menyejukkan diri, akhirnya petualangan di Senenpun dilanjutkan. Aku melihat suasana Senen yang baru kebakaran tanggal 11 Maret lalu. Puing, debu dan arang bekas kebakaran masih nyata terlihat. Bahkan ada beberapa tas yang dijual super murah hanya 5.000 rupiah tapi dengan konsekuensi ada kotoran arang yang mengakibatkan noda-noda hitam ada di tas tersebut.

Tapi pilihan tas murah bukan hanya yang bekas kebakaran saja. Tapi juga ada tas-tas sisa import (katanya sich gitu…). Dijual dengan kisaran harga 30ribu – 50ribu. Aku penasaran ingin melihat kualitas tas-tas tersebut akhirnya mataku tidak mau bergerak dari sebuah tas yang imitasi yang berwarna coklat, model sandang dan terlihat kasual. Aku yakin bahwa aku mendengar pedaganya bilang “Cuma 30ribu Neng. Korea punya.” Aku masih menimbang-nimbang mau beli atau tidak karena uangku pas-pasan di dompet tapi sungguh tas tersebut menarik. Pada saat aku melihat seksama tas tersebut, kira-kira ada 3 orang lagi yang juga penasaran dengan tas tersebut. 

Akhirnya aku meninggalkan lapak tersebut. Tapi entah kenapa aku suka sekali dengan tas itu. Aku pun balik arah dan melihatnya sekali lagi. Aku bulatkan tekad, aku beli tas tersebut. Eh…pas aku tanya sekali lagi kepada pedagangnya, “Bu, ini 30ribu? Gak bisa kurang?” Eh si Ibu malah bilang, “Neng, itu 50ribu. Yang 30ribu yang digeletakin ini. Itu mah Korea punya.” Aku kaget dan heran karena aku yakin kalau aku mendengar kalau harga tas tersebut 30ribu. Tapi mau dikata apa, jika sudah suka aku gak bisa mengelak. Jadi yach sudah aku keluarkan 50ribu dari kantong untuk membayar tas tersebut. Rasanya PUAS!!!

Setelah puas melihat baju, jam dan tas akhirnya aku meneruskan perjalanan hingga sampai di Kuitang, pusat buku-buku murah. Lagi dan lagi aku senang dengan suasana old school di sana. Semua buku dari jaman ke jaman tampaknya tersedia dengan harga miriiiiiiiing asalkan kita bisa menawarnya. Tapi berhubung masih ada satu buku di rumah yang belum selesai aku baca maka aku tidak membeli buku apapun di Kuitang. Karena jam sudah menunjukkan pukul 5 sore petualangan ku di Senen harus sudah selesai.

Aku berhenti di terminal untuk membeli minum setelah itu langsung naik bus menuju rumah. Dalam perjalanan pulang aku berpikir, berapa keuntungan yang para pedagang itu bisa raih jika harga barang mereka sungguh murah, sangat di bawah harga pasar???!!!

Deva @ Kompasiana.com

28 Maret 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline