Lihat ke Halaman Asli

Dety Chesarani

Artikel sejarah

Sejarah Perkembangan Industri Musik di Indonesia

Diperbarui: 19 April 2021   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

(Dari Era Piringan Hitam Hingga Era Digital)

Industri musik merupakan industri kultural yang mana di dalamnya terdapat dua unsur yaitu unsur seni dan unsur industri. Industri rekaman yaitu merekam suara penyanyi dan musisi ke dalam piringan hitam (1960-pertengahan 1970-an) dan pita suara kaset (mulai 1973). Tujuan utama industri musik rekaman adalah keuntungan. Sejarah industri musik di Indonesia dapat dilihat dari tahun 1950-an. Beberapa jenis musik yang berkembang adalah musik jazz, rock, dan pop. Ketika itu banyak pemuda Indonesia lebih menyukai lagu-lagu yang berasal dari Amerika Serikat yang didengar dari radio-radio luar negeri atau melalui film-film luar negeri yang masuk ke Indonesia. Hal itu mengakibatkan lagu-lagu daerah tidak diminati oleh masyarakat Indonesia.

Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno musik tidak banyak memberikan sumbangan ekonomi, baik terhadap negara ataupun musisi. Hal itu karena banyaknya pembatasan terhadap musik, sehingga industri musik belum berkembang dan musik lebih mewujud sebagai alat politik Industri musik Indonesia berkembang mengikuti kemajuan teknologi dan berubah fungsinya dari sebagai alat politik di masa kepemimpinan Presiden Soekarno hingga menjadi sebuah Industri hiburan yang banyak menghasilkan uang yang dikelola seorang produser dan studio rekaman besar dan nantinya akan menimbulkan sebuah arus berlawanan dalam industri musik itu sendiri.

Theodore K.S dalam bukunya yang berjudul Rock n Roll Industri Musik Indonesia dari Analog ke Digital membagi periode sejarah industri musik Indonesia menjadi tiga periode, periode pertama tahun 1950-1970 sebagai masa Piringan Hitam, periode kedua berkisar antara tahun 1970 hingga akhir 1980-an yang menjadi era Kaset, dan tahun 1990 hingga sekarang menjadii era revolusi digital.

1. Masa Piringan Hitam (1950-1970)

Sejarah awal industri musik Indonesia dirintis oleh Sujoso Karsono yang akrab dipanggil Mas Yos. Kecintaannya pada musik membuat beliau mendirikan The Indonesian Music Company Limited tanggal 17 Mei 1951 yang dikenal sebagai label Irama. Studio Irama yang pertama berada di Garasi rumah Mas Yos yang terletak di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta Pusat yang digunakan untuk merekam sebuah kuartet Jazz yang menjadi PH Irama yang pertama. Perusahaan rekaman ini adalah yang pertama setelah Indonesia merdeka. Perusahaan rekaman ini kemudian melanjutkan langkahnya memproduksi grup musik dan penyanyi melayu seperti Hasnah Tahar penyanyi Burung Nuri, penyanyi lagu Minang Oslan Hussein yang pernah membawakan Bengawan Solo, Kampuang Nan Djauh di Mato, serta Mas Yos sendiri yang merekam suaranya dalam lagu Nasi Uduk dan Djanganlah Djangan. Studio Irama kemudian pindah ke Jalan Cikini Raya. Kehadiran Irama yang mulai mempopulerkan musik-musik Amerika Serikat ke Indonesia lewat grup-grup band dan sering diadakanya festival-festival band seperti festival irama populer yang diadakan di beberapa kota di Indonesia menjadi salah satu akibat pemuda di Indonesia mulai menyukai lagu-lagu yang berasal dari Amerika Serikat.

Pertumbuhan band di kalangan pemuda saat itu dianggap oleh Presiden Soekarno sebagai hal yang negatif bagi kehidupan pemuda Indonesia. Oleh karena itu, Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan manifest Presiden pada 17 Agustus 1959 tentang kebudayaan nasional. Pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk melindungi kebudayaan nasional dari pengaruh asing. Sejak pertengahan bulan Oktober 1959 masyarakat Indonesia sudah tidak mendengar lagu-lagu berirama rock n roll, cha cha dan mambo dari seluruh Radio Republik Indonesia. Sebagai dampak dari manifestasi Presiden Soekarno tersebut, Radio Republik Indonesia (RRI) dalam program Pembangunan Semesta Berencana Indonesia menyatakan bahwa musik dan lagu merupakan sebagian dari kebudayaan yang membangun mental. RRI berpendapat bahwa siaran-siaran musik yang disiarkan RRI harus merupakan hiburan sehat dan membangun. Musik yang disiarkan RRI haruslah musik yang memberikan ketenangan pikiran dan perasaan, kegembiraan dan semangat yang harmonis. Selain itu, RRI menyatakan bahwa suatu keharusan untuk menanamkan pengertian dan penghargaan terhadap musik Indonesia. RRI berupaya mewujudkan program itu dengan cara menyiarkan hasil-hasil karya musik Indonesia, dan penciptaan lagulagu Indonesia oleh musisi Indonesia.

RRI kemudian menyatakan bahwa musik yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dinyatakan sebagai jenis musik yang akan membawa pengaruh buruk bagi pertumbuhan kepribadian bangsa dan sangat merugikan perkembangan musik Indonesia. Musik yang dinyatakan merusak tersebut dibagi kedalam beberapa golongan. Pertama, drive rythm music, yaitu musik dengan irama gila yang menimbulkan perasaan liar tidak terkendali. Kedua, lagu dengan cara-cara pembawaan suara yang tidak wajar. Ketiga, music sex dream, yang bermaksud menyatakan asmara lahiriah dengan cara sentimental. Keempat, musik dengan gubahan yang terlalu dibuat-buat menyimpang dari maksud dan isi aslinya, sehingga melampaui batas dan norma yang wajar, seperti lagu bengawan solo yang dibawa dengan irama rock n roll. Keenam, siaran musik untuk anakanak yang ternyata lagu-lagu dan cara-cara pembawaannya bertentangan dengan alam kehidupan anak. Pada tahun 1965, PH label Mesra memproduksi kasetnya yang diedarkan oleh Disco Records tahun 1967. Dan produksi kaset tersebut merubah produksi Industri Musik Indonesia dari Piringan Hitam menuju ke Kaset.

2. Era Kaset (1960-an hingga 1980-an)

Menjelang akhir tahun 1960-an industry music di Indonesia mulai memasuki era kaset. Dalam segi kuantitas kaset lebih baik dari piringan hitam (PH), karena dapat merekam banyak lagu. Di era kaset mulai menimbulkan pembajakan yang terjadi dimana-mana dan semena-mena. Media cetak tahun 1971 menjelaskan bahwa kaset bajakan mulai menjadi ancaman bagi industri PH. Kaset mulai diminati banyak masyarakat, selain harganya yang murah, kaset mampu menampung jumlah lagu yang lebih banyak. Sebuah kaset berisi 24 lagu penyanyi Indonesia yang direkam dari PH dijual seharga Rp 600, sementara sebuah PH yang berisi 12 lagu berharga Rp 1.200 hingga Rp 2.000. Ramaco yang pada saat itu menjadi salah satu pengusaha industry music Indonesia dan perusahaan PH yang lain akhirnya menyadari bahwa industry music Indonesia telah berevolusi dari PH menjadi Kaset. Perubahan lainnya selain evolusi adalah berubahnya kebijakan politik pasca berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan beralih ke rezim Presiden Soeharto atau yang dikenal dengan Orde Baru. Saat itu band Blue Diamond yang merupakan band asal Belanda sedang dalam puncak karir internasional. Blue Diamond sendiri merupakan band barat pertama yang datang ke Indonesia setelah masa kepemimpinan Soekarno berakhir dan membuat pertanda baru industry musik Indonesia.

Dengan kedatangan Blue Diamond ke Indonesia, perkembangan jenis music di Indonesia semakin berkembang pesat. Tekanan politik Orde Lama dan Orde Baru yang melarang peredaran dan dinyanyikannya lagu Mandarin di tempat umum justru melahirkan lagu-lagu populer Indonesia berirama Mandarin. Grup The Pheonix sempat menjadi pusat perhatian pada awal tahun 1975 ketika mereka menyanyikan lagu pop Indonesia berirama Mandarin. Populernya Ling Ling membuat sebuah wabah dan masalah baru di industri musik Indonesia. Lagu tersebut membuat penyanyi dan grup lainnya ikut-ikutan merekam lagu pop Indonesia dengan irama Mandarin. Musisi seperti Deddy Dores, Leily Dimyathi, Irni Basyir hingga Dlloyd.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline