Lihat ke Halaman Asli

Kaum Antara dan Kekerasan Tersembunyi

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Ih cucok deh bok” adalah salah satu gurauan yang mungkin sering kita dengar dalam pergaulan sehari hari dan apabila kita ditanya mengenai asal-usul dari kalimat tersebut, biasanya ingatan kita akan langsung menuju pada gaya bicara pembawa acara infotainment, pelawak, sampai karakter dalam film yang digambarkan sebagai pria feminin pada berbagai tayangan di televisi kita. Jika dilihat dari konstruksinya, maka kalimat ini terdiri dari kata “cucok” + “deh” + “bok”. Kata “cucok” dapat diartikan secara bebas adalah “sesuai”, “bagus”, atau kata-kata lain yang memiliki arti hampir sama dengan kedua kata di atas. Kata “deh”, menurut KBBI online adalah “déh/ Jk p kata yg digunakan untuk mengukuhkan kata-kata atau maksud kawan bicara: biar saja -- , jangan ambil pusing”[1]. Kata “bok” dapat diartikan sebagai penekanan terhadap lawan bicara seperti kita menggunakan “bu” atau “pak” pada akhir kalimat dalam “begini ya bu”,atau “begini ya pak”. Bahasa di atas adalah salah satu contoh dari banyak sekali bahasa gaul yang ada di Indonesia ini. Bahasa gaul muncul karena sejumlah kata yang ada di dalamnya mempunyai arti yang khusus, unik, menyimpang atau bahkan bertentangan dengan arti yang lazim ketika digunakan orang-orang dari subkultur tertentu. Bahasa subkultur ini disebut bahasa khusus (special language), bahasa gaul atau argot. Dan sering merujuk pada bahasa yang digunakan kelompok menyimpang (deviant group) seperti kaum homoseks, lesbian, pemakai narkoba, dsb.[2] Pada awalnya bahasa, kata dan istilah semacam ini digunakan sebagai suatu pembeda, alat identifikasi, dan suatu bentuk perlawanan terhadap pihak-pihak dominan yang bersikap kontra terhadap mereka.

Salah satu pemakai bahasa khusus adalah kaum homoseks dan lesbian. Kaum yang hingga kini di Indonesia secara diam-diam masih dimarjinalkan oleh lingkungan sosialnya. Tetapi menarik diamati bahwa kini, mereka yang dianggap menyimpang, secara perlahan mulai menunjukkan eksistensinya dalam ranah publik lewat kemunculannya dalam media massa, khususnya televisi. Media massa ini menciptakan, melahirkan dan membesarkan sosok-sosok ikonik yang mendekonstruksi pemahaman kita atas identitas-identitas tubuh. Sosok-sosok ini dikomodifikasi sedemikian rupa hingga menjadi sebuah hal yang dipertontonkan dan dijual kepada masyarakat. Baik mereka yang “otentik” dalam pengertian kehidupan sehari-harinya adalah homoseksual/lesbian/waria/banci, atau “artifisial” yaitu karakter buatan yang ditampilkan dalam film, sinetron, iklan, dsb. Walaupun dengan fenomena demikian, bukan berarti penyimpangan ini dapat diterima begitu saja oleh masyarakat, karena sampai saat ini di belum ada pihak yang mengakui penyimpangan orientasi seksualnya secara terbuka-langsung di hadapan media massa seperti yang dilakukan oleh Jupiter Fortissimo beberapa waktu lalu.[3] Media massa hanya menjadi fasilitator bagi mereka untuk merepresentasikan dirinya melalui simbol-simbol tersirat.

Menariknya, dengan makin tinggi frekuensi kemunculan dari pihak-pihak ini, hal-hal yang berkaitan dengan mereka, seperti bahasa dan gerak tubuh yang mereka gunakan, lalu diadopsi menjadi simbol-simbol kekerasan tersembunyi dalam sejumlah tayangan, dan biasanya digunakan dalam konteks komedi. Mungkin kita masih ingat pada Tessy, salah satu anggota dari grup lawak Srimulat yang selalu ditampilkan sebagai sosok seorang laki-laki kemayu lengkap dengan dandanan, cara berbicara, dan gerak-gerak tubuh feminin, biasanya selalu dijadikan bahan ejekan/caci maki oleh anggota srimulat yang lain dalam pertunjukan lawak mereka. Contoh lainnya adalah aktor Olga yang juga kerap berdandan ala wanita, sering ditampilkan sebagai pihak yang ditindas dan diperlakukan semena-mena oleh lawan mainnya. Tayangan-tayangan semacam ini, lengkap dengan segala hal di dalamnya tanpa sadar telah menjadi sebuah justifikasi dalam diri kita, bahwa, “mereka (waria) adalah pihak-pihak yang bebas untuk diejek, ditertawakan, dihina, dan diperlakukan seenaknya. Jika melihat dari Teori Hegemoni Gramsci, bisa dianalisis bahwa kita, sebagai masyarakat telah terdominasi secara tidak sadar dalam hal mengenai bagaimana harus bersikap terhadap pihak yang dianggap memiliki penyimpangan dan berbeda dari diri kita. Dan bahwa perilaku kekerasan dan kesewenangan seperti itu adalah sesuatu yang memang masuk akal serta wajar untuk dilakukan. Awal dari masalah diatas adalah mengenai perbedaan yang bersifat biologis, dan pada orientasi seksual. Isu ini layak dilihat melalui pendekatan gender, dimana pendekatan ini menguraikan batasan seksual bukan antara laki-laki dan perempuan saja, tetapi juga melihat mereka yang berada pada posisi di antara keduanya.

Identitas dan orientasi seksual dari public figure kini menjadi salah satu hal yang dieksploitasi habis-habisan oleh mesin-mesin kapitalisasi media massa. Dulu, kita masihingat pada salah satu program di Indosiar yang memiliki rating tinggi, “Mamamia”, misalnya, ada tokohIvan Gunawan sebagai juri sekaligus komentator yang bias dipanggil “Madam”. Sepintas dari pemberian nama panggung yang diberikan kepadanya saja sudah terlihat upaya penghinaan yang dibalut secara halus dalam konteks canda.

Lepas dari suka atau tidaknya ia dipanggil seperti itu, sebagai orang awam kita tahu bahwa madam adalah sebutan bagi wanita. Dan jelas ia adalah seorang laki-laki. Fakta bahwa ia berperilaku dan berpenampilan feminin menjadi sebuah pembenaran bagi pelabelan “madam” tersebut. Mungkin kata ini dinilai lebih pantas daripada sejumlah kata lain yang bersifat offensif seperti “bencong” misalnya. Ivan Gunawan adalah salah satu dari beberapa public figure yang melakukan perlawanan identitas kepada kelompok dominan masyarakat, seperti dikemukakan Judith Butler yang mengajukan teori performativitas. Inti proposal Butler adalah tidak ada identitas gender di balik ekspresi gender. Melainkan, identitas itu dibentuk secara performatif, berulang-ulang hingga tercapai “identitas yang asli”. Butler menyerang koherensi yang diharuskan antara identitas gender dan identitas seksual. Seperti telah menjadi wacana yang umum selama ini, setiap orang diharuskan memiliki satu identitas gender yang jelas, yang harus sesuai antara “dalam” (jenis kelamin) dan “luar” (gender: cara berbusana, peran, identitas). Koherensi yang diharuskan inilah yang selama ini digunakan untuk menentukan normal dan abnormalnya seseorang. Bahwa seseorang yang memiliki penis tak punya pilihan lain kecuali harus maskulin, dan orang yang bervagina otomatis harus feminin.[4]

Kembali kepada istilah argot di atas. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana apabila bahasa-bahasa itu tidak digunakan hanya oleh para deviant saja, namun justru dipakai dalam perilaku sehari-hari? Contohnya adalah kalimat “Ih cucok deh bok” seperti yang saya ungkapkan di atas sebagai salah satu bahasa yang sering digunakan kaum waria. Saat kita menggunakan istilah seperti itu, sebetulnya maksud apa yang terkandung dalam ucapan kita? Apakah kita ingin terlihat seperti waria? Mengapa kita ingin terlihat seperti waria? Apa yang terjadi apabila kita terlihat seperti waria? Bagaimana perilaku orang lain terhadap kita yang terlihat seperti waria?

Definisi komunikasi menurut Stewart L Tubbs dan Sylvia Moss adalah sebuah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih. Definisi ini sesuai dengan pemahaman bahwa komunikasi adalah proses transaksional yang melibatkan berbagai simbol dan lambang-lambang. Argot, dapat dikatakan sebagai sebuah simbol dalam berkomunikasi. Bagaimana perkataan “ih cucok deh bok” dapat dikonstruksi menjadi sebuah makna? Dari beberapa pengamatan sekilas, saya menyampaikan suatu hipotesis bahwa perkataan seperti itu biasanya bermaksud untuk “merendahkan diri” dalam pengertian kita merendahkan diri kita (menjadi waria) demi mendapat Respon dari orang yang kita ajak bicara. Respon yang didapat biasanya adalah kita ditertawakan, dicibir, dianggap kebanci-bancian dsb, atau bisa dibilang selalu tanggapan yang bersifat mengejek atau merendahkan. Dengan kata lain, apabila kita menggunakan perkataan itu, lengkap dengan gerakan tubuh dari para waria, sebetulnya saat itu kita sedang melakukan sebuah proses penghinaan secara tidak langsung kepada pemilik asli perkataan tersebut. Dan lawan bicara kita pun menunjukkan persetujuan atas simbol tersebut dengan menanggapi secara negatif dan merendahkan. Sehingga dari percakapan di atas terbentuk kesepakatan makna yang mengatakan bahwa kaum waria adalah memang sudah dipantasnya direndahkan.

Salah satu hal yang menyebabkan proses ini berlangsung terus ialah peran media massa. Seperti disebutkan, media massa kerap menampilkan para karakter para waria/pria feminin yang direndahkan. Dan biasanya juga terdapat karakter lain yang bertugas merendahkan waria tersebut (karakter yang terdominasi dan karakter yang mendominasi). Pandangan masyarakat juga jarang sekali membela kaum ini. Malah justru banyak pernyataan negatif lain seperti anggapan bahwa mereka berperilaku demikian sekadar supaya mendapat tawaran main. Masyarakat juga tidak mau percaya bahwa mereka mendapatkan peran tersebut karena kompetensi yang mereka miliki. Mereka adalah orang-orang menyimpang yang sering kali kita anggap aneh, ditertawakan, dicibir, dikutuk oleh agama, dirazia oleh aparat, dan dimarjinalkan oleh masyarakat dan lingkungannya. Peran tersebut didapat menurut masyarakat hanya karena mereka lemah gemulai, karena mereka berbicara dan memiliki gerak-gerik seperti perempuan. Masyarakat menganggap bahwa mereka hanyalah sekadar trend industri media belaka.

[1] http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php

[2] Lihat Mulyana, Deddy. “Bahasa Gaul” dalam Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Bandung:Remaja Rosdakarya, 2000, hlm. 280.

[3] Dikutip dari artikel pada http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=323382 dengan judul “Reaksi Tim Manajemen usai Jupiter Akui Mantan Gay”

[4] Dikutip dari http://queerindonesia.blogspot.com/2006/07/media-gender-dan-identitas.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline