Lihat ke Halaman Asli

Rokok Haram, Cukai Rokok (Tidak) Haram?!

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini bukanlah tulisan dari seorang ulama ataupun fuqaha.  Ini hanyalah sekedar opini satu sudut. Karena itu sebelumnya saya memohon pemahfuman dari pembaca tentang keterbatasan pandangan dariapa - apa yang saya goreskan di sini.

Mengingat Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang jatuh Hari ini, Saya teringat di Tahun 2010 silam, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa tentang rokok, menurut Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid bernomor 6/SM/MTT/III/2010, rokok dikategorikan sebagai barang haram, dan digolongkan sebagai barang najis dan kotor. Karena itu para ulama tersebut mengkategorikan merokok sebagai perbuatan yang bertentangan unsur-unsur tujuan syariah (maqaasid asy-syariiah) yaitu perlindungan agama, jiwa/raga, akal, keluarga dan harta.

Bagaimana tanggapan pembaca terhadap fatwa tersebut? Oke, banyak yang setuju, namun pasti tidak sedikit pula yang menolak. Masing - masing pada argumennya sendiri. Terlepas dari itu semua, fatwa sebagai sebuah ijtihad buatan manusia, memang patut kita hormati bersama, setidaknya sebagai sebuah niat baik ulama dalam melindungi umatnya. Namun pada tulisan ini saya tidak sedang memposisikan diri sebagai pendukung ataupun penolak. Saya sebagai umat yang memiliki wawasan fiqih yang dangkal bagaimanapun tetap menghargai niat beliau -beliau yang maksud hati hendak melindungi umatnya.

Menurut sepengetahuan saya, fatwa tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, ia semacam suatu saran atau nasehat dari seorang yang lebih berilmu kepada orang lain akan suatu hal. Jika suatu barang atau komoditas difatwakan haram, maka itu berarti haram menurut pendapat si fulan, namun bisa jadi kita temui fatwa - fatwa lain yang berbeda dan beragam yang membahas hukum tentang suatu hal atau komoditas yang sama. Fatwa hanyalah suatu bentuk ijtihad seorang manusia, ia hanyalah tafsir terhadap sebuah hukum Islam. Karena itu semua fatwa baiknya dikembalikan kepada Allah yang memiliki hak prerogratif untuk menghalalkan dan mengharamkan segala sesuatu.

Namun yang saya cermati bukan pada kaedah keilmuan dan keilmiahan akan fatwa rokok haram dari MUI itu, saya tidak ingin berdebat tentang itu. Karena bukan masuk bidak keilmuan saya. Silahkan tanyakan kepada ahli kesehatan atau para peneliti. Saya hanya ingin menyampaikan hal yang masih ngeganjel di hati dan pikiran saya karena pendapat yang dikeluarkan oleh para fuqaha yang saya takdzimi itu. Terkesan - maaf,  bersifat parsial dan setengah hati. Alangkah akan sangat bahagianya saya. Seandainya beliau - beliau tidak hanya mengeluarkan statement tentang haramnya rokok itu sendiri, namun juga fatwa-fatwa lain yang mejadi efek dan sebab dari adanya fatwa haram rokok.

Maksud saya, rokok sebagai suatu komiditas yang "difatwakan haram" itu tidak serta merta ada dengan sendirinya, ia bermula dari satu proses yang bermula dari hulu hingga kemudian sampai ke tangan - tangan para perokok. Rokok ada sebagai sebuah produk dari suatu sistem. Ia bermula dari  tembakau yang ditanam para petani - petani kecil, masuk kedalam pabrik, dikenai cukai rokok oleh pemerintah, didistribusikan ke para pedagang dan pengecer hingga kemudian sampai kepada konsumen.

Jika sebuah rokok sebagai komoditas mendapatkan stempel haram, saya sebagai umat yang kebingungan lantas bertanya - tanya sendiri dalam hati tentang bagaimana fatwa menanam tembakau yang akan digunakan sebagai komoditas rokok, apa fatwa dari pabrik rokok , bagaimana hukumnya bekerja sebagai buruh pabrik rokok.

Ketika rokok diharamkan, maka saya sebagai umat jadi kebingungan, apakah 100 trilyun rupiah Cukai rokok  yang ditarik oleh pemerintah terhadap pabrik rokok itu ikut serta merta menjadi haram, mengingat ia diambil sebagai pajak dari "penjualan barang haram"? Lantas bagaimana pula hukum menikmati pembangunan yang didapatkan dari penjualan komoditas yang "distempeli haram" tersebut. Lalu menjadi munafikah pemerintah kita, yang di satu sisi menyudutkan tembakau namun disisi lain menikmati  pembangunan dari industri tembakau? Menjadi munafikah kita, yang mencap negatif perokok, sementara kita menikmati siaran olahraga dan event musik yang justru disponsori oleh industri yang kita kecam - kecam itu?

Di  zaman modern ini, semua berkembang menjadi impersonal,  tidak ada segala sesuatu yang berdiri sendiri, semua menjadi bagian dari roda - roda sistem. Sama halnya dengan rokok yang hadir di depan hidung kita sebagai sebuah produk yang bermula dari sistem yang panjang.

Maka sebagai bangsa dan umat yang berpendirian saya merindukan kita tegas dalam mengambil posisi, jika rokok menjadi haram, lantas mengapa kita masih menikmati sistem yang diperoleh dari "barang haram" tersebut? Jika kita menikmati manfaat pembangunan dari sistem itu, lantas kenapa kita mengecam - ngecamnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline