Lihat ke Halaman Asli

Ramadhan Tak Berakhir, Karena Hadirnya Ada Sepanjang Jaman

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


“Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh langit dan tujuh bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”

Demikian kutipan sebuah hadist Rasulullah Muhammad s.a.w yang menjelaskan kesedihan langit dan bumi serta para malaikat di malam akhir bulan ramadhan. Para malaikat bersedih akan berlalunya Ramadhan, kita yang manusia biasa  -- bisa jadi ada yang bersedih, ada juga yang gembira, asalkan itu semua jangan dibuat - buat seolah - olah bersedih padahal dalam hatinya gembira, karena tidak ada wajib puasa lagi. Toh gembira karena Ramadhan akan berakhir bukan suatu hal yang berdosa.

Secara manusiawi kita menyenangi makan dan minum. Pada dasarnya, kita tidak suka dan tidak betah untuk lapar dan haus. Dan justru disitulah nilai kemuliaannya,  bukankah suatu hal yang istimewa jika kita tidak menyukai suatu hal namun kita berhasil melakukannya dengan ikhlas karena Allah yang memerintahkan sesuatu itu?

Melakukan sesuatu yang tidak disukai membutuhkan perjuangan yang lebih ekstra dibanding melakukan sesuatu yang secara alami kita gemari. Jadi memang tidak mengapa kita tidak suka berpuasa, dan itu adalah fitrah manusia, dan disitulah nilai kemuliaanya dimana puasa membuat kita bermental berjuang

Ramadhan Sepanjang Tahun

Saya meyakini bulan Ramadhan itu secara administratif teknis memang sepanjang satu bulan, namun hakikat ramadhan itu ada sepanjang tahun. Sebagaimana halnya ketika kita menyebut Ka'bah itu sebagai baitullah (rumah Allah), memang Ka'bah itu baitullah, namun jengkal bumi ciptaan Allah mana yang bukan merupakan baitullah?

Begitupun dengan ibadah "puasa" tidak semata berlangsung di satu bulan Ramadhan, karena yang namanya berpuasa itu adalah seumur hidupmu. Puasa yang berarti "menahan diri" adalah peradaban tertinggi manusia. Semua masalah di dunia ini -- mulai dari peristiwa turunnya Adam dari surga hingga konflik teluk timur tengah, hingga kejadian aktual sekarang ini dari kecil dan besar -- semua bermuara pada satu permasalahan, yakni mereka tidak sanggup untuk  "menahan diri" (berpuasa), sehingga disebut oleh Allah sebagai kaum yang melampaui batas. Karena itulah puasa sebagai bentuk peradaban manusia, agar mereka tahu dan mengenal dimana sesungguhnya batasnya.

Rasulullah mengajarkan untuk berhenti makan sebelum kenyang, itu juga salah satu bentuk puasa. Kita bisa membeli makan makanan mewah, namun kita berpuasa dengan membeli makanan yang sederhana, itu juga puasa namanya. Kita bisa berpuasa untuk tidak membalas kejahatan orang lain, meskipun kita punya kuasa untuk membalasnya. Kita bisa juga  berpuasa untuk memberikan makanan kepada orang yg lebih lapar, meskipun kita juga kelaparan, makanan itu jika kita proyeksikan dalam kehidupan sehari - hari bisa berupa kursi jabatan, kesempatan ekonomi, uang sejuta rupiah dan lain sebagainya.

Kita bisa menjalani puasa yang lebih kontekstual misalnya, yaitu dengan  tidak ikut-ikutan "mencuri" di kantor, bagaimana kita membatasi diri dari nafsu ingin membeli hal - hal yang kurang bermanfaat, bagaimana kita melakukan hal - hal yang paling islami saja di antara seribu kemungkinan di hadapan mata kita

Kita hidup dalam suatu tatanan sosial dan ekonomi yang penuh riba, penuh perampokan secara sistemik dan otomatis, maka bagaimana kita berpuasa untuk tidak terlibat di dalamnya, atau paling tidak, kita membatasi keterlibatan kita seminimal mungkin. Inilah puasa yang sesungguhnya. Dan itu lebih berat. Dan itu harus kita lakukan sepanjang hari, sepanjang bulan, dan sepanjang tahun, tak hanya pada bulan ramadhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline