Lihat ke Halaman Asli

Bank Dunia Dikte Kebijakan dan Arah Pembangunan Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Ditengah - tengah pemulihan ekonomi dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih saja terbelenggu sejumlah hambatan besar sehingga pencapaian pertumbuhan ekonomi sebesar rata 7 % semakin sulit dicapai oleh regim SBY. Hambatan terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah kesiapan infrastruktur (jalan, pelabuhan, listrik & energy, dll), kepastian hukum dan kemudahan berinvestasi, ketersediaan bahan baku dan barang modal serta penguasaan teknologi.

Proyek - proyek infrastruktur yang sudah bertahun - tahun direncanakan sampai detik ini sebagian besar belum terealisasi. Proyek 1.000 km pembangunan jalan tol misalnya, sampai ini baru tercapai sekitar 20 % atau 200 km. Bandingkan dengan Malaysia yang luas negaranya sepersepuluh Indonesia telah memiliki 6.000 km jalan tol yang menghubungkan semenanjung Malayasia dari ujung utara ke ujung selatan. Demikian juga proyek pembangunan 10.000 MW pembangkit listrik (power plant) yang kini tak jelas juntrungannya. Pembangunan pelabuhan, bandara, dan sarana transportasi lainnya selalu menghadapi kendala sehingga meleset dari target waktu yang ditetapkan. Penyebab utama dari semua kegagalan program pemerintah ini adalah keterbatasan modal yang disebabkan tidak adanya kepastian hukum dan kemudahaan berinvestasi di Indonesia. Itulah sebabnya pemerintah RI berkoar - koar akan memacu indoneia mencapai posisi investament grade atau posisi dimana semua atau sebagian besar hambatan investasi telah dihapuskan. Namun fakta menunjukan sebaliknya. Para pejabat dan birokrat kita bukannya berlomba - lomba melakukan deregulasi sektor investasi tapi malahan berpacu menerbitkan sebanyak - banyaknya peraturan / regulasi yang menyulitkan atau menghambat dunia usaha.  Pemerintah dan birokrasi malah menjadi beban dan momok yang menakutkan kalangan dunia usaha.

Jika perilaku pejabat dan birokrat kita masih seperti sekarang ini dan kepastian hukum masih jauh dari harapan, adalah suatu mimpi belaka jika kita mengharapkan Indonesia dapat mencapai posisi investment grade.  Ada 2 hal penyebab utama dari kekeliruan kebijakan pemerintah kita ini. Pertama, setiap kebijakan strategis termasuk undang - undang sektor ekonomi selalu disetir atau didikte oleh lembaga asing seperti Bank Dunia dan IMF. Tahun 2010 saja tak kurang 14 undang - undang yang perumusannya diintervensi oleh lembaga keuangan asing. Mereka berkedok sebagai konsultan pemerintah RI tetapi sesungguhnya mereka punya agenda untuk mengamankan kepentingan stategis global mereka dan kepentingan spekulan atau investor jangka pendek yang selama ini menikmati keuntungan sangat besar dari Indonesia. Bayangkan saja, akibat diintervensi kepentingan asing, pemerintah dengan royalnya terbitkan berbagai macam instrumen investasi dan surat utang negara dengan bunga tertinggi di dunia (9 - 11 %), kemudahan investasi di pasar modal dan pasar uang dipermudah plus ditambah lagi dengan jaminan pengendalian / pematokan rupiah di bawah Rp. 9.000/ dollar AS. Dengan paket - paket kebijakan yang sangat menguntungkan investor asing jangka pendek atau spekulan ini tak heran para investor asing berlomba - lomba membeli obligasi, surat utang negara dan saham di Indonesia karena ada jaminan keuntungan yang luar biasa besar terhadap investor.  Secara jangka pendek,derasnya arus masuk devisa ini memang menguntungkan bagi cadangan devisa RI, namun akibatnya fundamental ekonomi Indonesia menjadi sangat rapuh dan rentan terhadap gejolak. Investasi di sektor riel di Indonesia dari investor asing  saat ini masih sangat kecil dan tidak signifikan. Penyebabnya lagi - lagi tidak adanya kepastian hukum di Indonesia, banyaknya hambatan investasi dan tidak adanya jaminan keuntungan dan kelangsungan usaha. Dari pada investor asing capek - capek memikirkan risiko investasi di sektor riel, mereka lebih baik berinvestasi di pasar modal atau pasar uang (hot money).

Semua kekisruhan tersebut di atas selain daripada disebabkan oleh kebijakan yang keliru dari pemrintah, juga disebabkan adanya intervensi lembaga keuangan asing terhadap semua kebijakan pemerintah yang dianggap mereka dapat mengamankan kepentingan bisnis dan politik serta dominasi mereka di Indonesia. Figur yang paling berjasa dalam mengamankan kepentingan asing ini adalah Sri Mulyani mantan menteri keuangan RI yang hanya karena kepentingan pribadinya mau menghamba kepada Washington.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline