Mahasiswa hukum memiliki andil besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mereka mampu memantik api pergerakan nasional. Perlawanan mereka terhadap penjajahan dan kebodohan tiada dua. Ekstensi itu jadi bukti lulusan hukum dibutuhkan kala Indonesia merdeka.
Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) pun dibentuk. Hasilnya menganggumkan. Di mana-mana alumni FH UGM menginspirasi. Mereka kemudian membuat wadah. Keluarga Alumni Hukum Gadjah Mada (KAHGAMA), namanya.
Narasi pergerakan nasional bukan melulu 'monopoli' mahasiswa kedokteran belaka. Sebab, selain Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra (STOVIA), ada nama Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Batavia, Rechtshoogeschool (RHS) yang memiliki andil dalam pergerakan nasional.
Mahasiswa RHS tak kalah progresif dari STOVIA. Itulah mengapa kesempatan bersekolah di kampus hukum pertama di Nusantara itu tak disia-siakan kaum bumiputra. Mereka menjadikan pendidikan hukum sebagai pembuka daya pikir kritis.
Kesadaran itu dibangkitkan dengan realitas penjajah Belanda yang menganggap rendah kaum bumiputra. mahasiswa RHS khususnya. Fakta rasisme orang Belanda jadi 'amunisi' mahasiswa RHS bersatu dan merapat barisan.
Kelompok diskusi dalam agenda melepas belenggu penjajahan Belanda digelar. Ide-ide perlawanan untuk melepas belenggu penjajahan Belanda jadi hasilnya. Kemudian, diskusi-diskusi itu mampu memunculkan kesadaran nasional.
Segenap mahasiswa RHS mengawali langkahnya sebagai pejuang kemerdekaan. Beberapa di antara mampu menjadi sosok berpengaruh di kemudian hari. Dari yang jadi Kapolri hingga tokoh politik.
Sekalipun beberapa di antaranya tak menamatkan pendidikan di RHS. Antara lain Kapolri Pertama Indonesia, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo dan Kapolri ke-5, Hoegeng Imam Santoso (kemudian dikenal sebagai Si Polisi Jujur).