"Jika engkau telah dewasa, bertulang delapan karat, berbidang bahu lebar, mahir bersilat, turunlah ke medang perang untuk menghalau Belanda dari kampung halaman kita. Seluruh Aceh akan menghunuskan senjata. Tempat ayahmu ada di depan mereka. Karena itulah kau harus turun juga ke muka peperangan. Janganlah kau tinggal di muka rumah saja."
Demikianlah pesan Cut Nyak Dhien saat sedang menimang anaknya. Pesan yang direka kembali oleh M.H. Szekely Lulofs dalam buku berjudul Cut Nyak Din itu konon selalu diperdengarkan sebagai dongeng tidur sang anak kala perang Aceh tahun 1873 hingga 1913 di berbagai wilayah sedang berkecamuk.
Karenanya, suara-suara ratib yang berucap rapalan "La ilaha illallah" terdengar di seantero Enam Mukim --tempat tinggal Cut Nyak Dhien-- sebagai permohonan doa kepada yang Maha Kuasa sekaligus jadi pupuk penumbuh keberanian melawan Belanda. Dongeng itu meluas, tak hanya membibit semangat di dada sang anak kandung, tapi juga anak-anak lain di wilayah tersebut.
Budayawan Aceh Tungang Iskandar bahkan menyebut Cut Nyak Dhien sebagai sosok yang sejatinya memiliki pengaruh yang amat besar. Perempuan berayahkan panglima perang bernama Nanta Setia itu disebut sebagai sosok yang amat lekat dengan isu kesetaraan. Wanita kelahiran Lampadang, Aceh Besar, 1848 berhasil membuktikan bahwa peran pria dan wanita dalam perjuangan setara.
"Kesetiaannya kepada agama memang bukan hanya harus dimiliki oleh laki-laki. Karena laki-laki dan perempuan punya peran yang sama dalam perjuangan," kata Tungang kala dihubungi beberapa waktu lalu.
Awal mula perjuangan
Pada 22 Maret 1873, rakyat Aceh tengah bersiap menyambut bala bantuan Kerajaan Turki di pinggir pantai. Penantian yang berujung pahit, sebab yang datang bukan rombongan Kerajaan Turki, melainkan empat kapal yang tiga di antaranya adalah kapal perang Belanda dengan identitas khas berupa rajutan bendera tiga warna putih, merah, dan biru.
Seketika kepanikan pun melanda dari mereka yang tua maupun anak-anak. Mereka yang tadinya berkumpul dengan suka cita langsung membubarkan diri, berlarian ke segala penjuru sembari berteriak "Belanda datang, Belanda datang, Belanda datang!"
Di antara mereka yang panik, ada nama Cut Nyak Dhien dengan suami pertamanya, Teuku Ibrahim Lamnga mengisi barisan itu. Ia yang sejak kecil sudah biasa mencuri percakapan dari tamu-tamu ayahnya yang sering bercerita terkait Belanda, langsung menyadari betapa jahatnya Belanda serta palsunya persahabatan yang ditawarkan.
Sifat jahat Belanda terlihat di mata Cut Nyak Dhien kala perundingan mereka dengan Sultan Aceh buntu. Tepat 26 Maret 1873, surat pernyataan perang pun diantarkan. Setali dengan itu, para pejuang aceh telah bersiap.
"Ada yang berteriak-teriak menyebut asma Allah, dan ada juga yang bertempik sorak. Pejuang-pejuang itu amat berani. Pejuang-pejuang itu amat berani walau hanya bersenjatakan alat yang sederhana. Mereka tampak tak ragu-ragu mengorbankan nyawanya di medan perang," tulis Lulofs dalam buku Cut Nyak Din.