Lihat ke Halaman Asli

Detha Arya Tifada

TERVERIFIKASI

Content Writer

Para Pembajak Buku yang (Tak) Baik Hati

Diperbarui: 28 Oktober 2019   04:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

toko buku/ Photo by Min An from Pexels

Adanya penelitian dari organisasi pendidikan ilmu pengetahuan, dan kebudayaan PBB (UNESCO) pada 2016, yang mendaulat Indonesia berada di posisi 60 dengan label Negara yang tergolong memiliki minat dan kebiasaan membaca sangat rendah membuat pemerintah, industri penerbitan, penulis, dan segenap masyarakat seakan memiliki tanggung jawab moral untuk bergerak bersama-sama demi cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam perjalanannya, kita dapat melihat penerbit yang berlomba-lomba menerbitkan buku terbaik, penulis yang mulai menggoreskan karya-karya menarik minat khalayak, masyarakat yang peduli pun turut membangun taman baca serta pemerintah yang mulai menggalakkan ketersediaan akses yang mampu mengakomodasi minat baca masyarakat, terutama akses baca bagi masyarakat di daerah terpencil.

Setali dengan itu, bernada tak diundang, muncul-lah oknum-oknum pembajak buku yang alih-alih peduli dengan rendah literasi, dengan menjual buku-buku yang menjadi bestseller dengan harga dibawah pasaran, alias menjual buku bajakan.

Kehadirannya, satu sisi muncul sebagai pahlawan (karena buku dagangannya terbukti laku dengan harga yang miring).

Di sisi lain, ada penulis yang bersedih karena keuntungan penjualan yang harusnya menjadi pundi-pundi pendapatan malah tak dapat, ada editor yang sedang pusing karena hal yang menjadi haknya ikutan dikebiri, ada penerbit yang rasanya salah pilih bisnis karena menganggap memilih bisnis yang salah ditengah masyarakat yang rendah tingkat literasi, serta ada toko buku yang sekiranya bertarung habis-habisan agar tak medapatkan label "senjakala."

Anehnya, melihat fenomena seperti ini, pemerintah cenderung tak melakukan upaya yang berarti dan menganggap perkara pembajakan hanya problema remeh-temeh semata. Seakan para pelaku mendapat lampu hijau untuk mengembang bisnis ilegalnya, tak membayar pajak, dan tak memberikan royalti pada penulis (karena seratus persen keuntungan masuk ke kantong pembajak).

Namun pemerintah agaknya segera bergerak cepat, kala ada penerbit yang bukunya sedikit beraroma kiri (walau hanya dari synopsis) laris manis di pasaran, dan seketika langsung tancap gas, untuk sejenak menyita, mengamankan, dan memberi larangan terbit.

Berdasarkan hal di atas, kesimpulan yang dapat ditarik, bisa saja karena masalah hak cipta tak pernah menjadi prioritas di negara berkembang ini. Sungguh aneh bukan?

Padahal dalam Pasal 1 ayat 23 UU 28/2014 saja, sudah jelas-jelas mengungkap definisi pembajakan adalah "Penggandaan ciptaan secara tak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi." 

Bahkan, pelakunya diancam dengan pidana penjara maksimal 10 tahun atau denda Rp 4 miliar, sesuai Pasal 112, 113 ayat 3, dan Pasal 114 UU Nomor 28 Tahun 2014.

Meski begitu, kurang tegasnya pemerintah dalam hal ini, membuat peraturan yang ada, hanya mirip-mirip seperti buku petunjuk pemakaian pada pembelian barang elektronik. Ada tapi sering kali luput untuk dibaca.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline