Lihat ke Halaman Asli

Detha Arya Tifada

TERVERIFIKASI

Content Writer

Stop Pneumonia pada Anak dan Bukti Penting (Adanya) Vaksinasi

Diperbarui: 1 September 2019   13:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

fakta pneumonia 1/sumber: dethazyo

Jikalau sekelas World Health Organization (WHO) saja telah memberi label mengenai keragu-raguan seseorang dalam memilih vaksin sebagai 10 ancaman terbesar kesehatan global di tahun 2019. 

Maka jelas, isu tersebut yang bersanding dengan ancaman kesehatan lainnya, seperti HIV, Polusi Udara, serta demam berdarah, sudah tentu memiliki urgensi yang sangat tinggi guna diperangi.

Betapa tidak, kejadian ini tak hanya terjadi di berbagai belahan dunia saja, karena ternyata di Indonesia-pun hal tersebut (kembali) bergelora. Ada yang mengatakan bahwa penganut anti-vaksin menggelorakan penolakan karena suatu bentuk atas protes kepada perusahaan farmasi besar. 

Ada yang beranggapan bahwa vaksin terbuat dari bahan yang tak alami (ke-halalannya diragukan) alias tak aman, serta masih saja ada orang yang tetap setia dengan pandangan lama, bahwa sejatinya vaksin telah mencampuri urusan tuhan akan takdir, sehingga diragukan oleh agama.

Kusus yang terakhir, jika ditelusuri, euphoria anti-vaksin ternyata tak hanya hadir pada beberapa bulan ke belakang saja. 

Saat memutar lebih jauh ke belakang, kiranya ketika ibu kota (Jakarta) masih menjadi Batavia (dan Indonesia saat disebut Hindia Belanda), orang-orang dengan label anti-vaksin turut hadir dalam kehidupan. 

Uniknya, kebanyakkan bukan dari pribumi, terlebih dari mereka yang menyebut diri sebagai orang Eropa maupun mestizo (mereka yang keturunan campuran).

Hal itu didapat kala membaca kumpulan cerpen dari Iksana Banu yang dijadikan sebuah buku berjudul, "Teh dan Penghianat." Dalam buku tersebut, terdapat satu cerpen yang senantiasa masih relevan dengan yang diulas sedari awal di atas, yaitu perihal anti-vaksin.

buku teh dan penghianat/sumber: kompasiana.com/detha

Lewat judul cerpen "Variola," sang penulis mencoba membuka kembali tabir sejarah, bahwa sesungguhnya wabah cacar (variola) sempat menjadi sang pengantar para penderitanya menuju gerbang kematian (karena sudah ribuan tahun lalu mampu memangsa jutaan jiwa), "dan sejak abad XIV mulai menjangkit hindia Belanda (hlm 45)."

Saat itu, terhitung mulai dari Ternate, Ambon, dan Bali yang disinyalir menjadi daerah yang paling banyak kehilangan jiwa. Di Bali saja angka kematian sampai menyentuh 18.000 orang menjelang akhir tahun 1871.

Sebagai solusi, satu-satunya cara agar wabah dapat teratasi ialah dengan pengiriman vaksin dari Belanda yang tentu saja akan memakan waktu yang banyak, sehingga takkan mampu menghadap laju dari wabah di Bali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline