Seperti biasanya, sangking semangatnya menyabut hari kemenangan, diri pribadi beserta keluarga, selalu bersiap untuk melalukan ibadah sholat Idul Fitri dengan bangun lebih awal. Untuk sejenak bersiap, sesegera mungkin mandi, memakai pakaian terbaik, wewangian, sarapan bersama, serta berjalan menuju masjid tempat dilaksanakannya Sholat Idul Fitri. Dengan wajah yang bahagia, bangga, meski sedikit dilanda kesedihan.
Bahagia karena masih diberi kesempatan beribadah selama bulan Ramadan. Bangga karena bisa melakukan sholat Idul Fitri bersama keluarga, serta ada sedikit luapan kesedihan, berupa pertanyaan "Dapatkah diri pribadi kembali bersua dengan bulan Ramadan di tahun yang akan datang?"
Namun, seiring takbir berkumandang dengan merdunya di telinga yang berisi kalimat "Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar. Allahu akbar walillahil hamd." (artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, segala puji bagi-Nya).
Mendengar kalimat diatas berulang-ulang, segala masalah (termasuk kesedihan berbalut ketakutan), sedikit terlupakan. Karena yang ada hanya kebahagiaan. Kebahagiaan bisa merayakan hari kemenangan lengkap bersama keluarga, serta kebahagiaan masih diberi kesempatan merasakan tarikan napas segar berlebaran di kampung halaman (Sumbawa).
Meski begitu, tetap saja diri pribadi, agak kurang paham "kenapa bunyi takbir dapat mempengaruhi mood?." Oleh karenanya penjelasan dari Eric Weiner yang dituangkan dalam buku "The Geography of Faith" tenyata dapat membuka cakrawala berpikir.
Menurutnya "Bunyi lebih penting daripada visual. Telinga tidak mengembara sejauh mata. Itulah sebabnya begitu banyak agama yang mengandung muatan suara: Himne Kristen, tabuhan gendang Shamanisme, pendarasan Al-Quran, dan tentu saja mantra Buddha. Bahasa Tibet, bersama Sanskerta dan Arab, merupakan bahasa vibrasi. Sehingga kata-kata dapat menyampaikan makna pada level intuitif (kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas) yang utama."
Melalui penjelasannya dari Eric Weiner, diri pun menjadi paham, kenapa saat mendengar takdir, hati rasanya damai selalu, bahkan sesekali, diri pun terbawa-bawa untuk melafalkan takbir. Bisa jadi sebagai bentuk dari paripurnanya ibadah puasa selama satu bulan penuh. Wallahu a'lam..
Mari Berjabat Tangan, Saling maaf-Maafan
Lantas, setelah berakhirnya ibadah sholat Idul Fitri di kampung halaman, langsung saja seisi masjid membentuk lingkaran, dan dari kedua sisi, bergerak ke arah berlawanan, sembari menjabat tangan tiap orang yang hadir didalam masjid. Tua maupun muda, melebur jadi satu, dalam euphoria sarat kemenangan ala hari Lebaran.
Meski begitu, diri pribadi, selalu punya opini lain terkait hal tersebut. Betapa tidak, Moment maaf-maafan saat lebaran tak hanya melulu perkara minta maaf semata. Karena lewat berjabat tangan, kita hapus segala masalah. Lewat berjabat tangan, kita hapus segala amarah. Dan lewat berjabat tangan kita hapus pikiran anti perbedaan. Baik, Perbedaan cara pandang, cara menilai, dan pilihan politik.
Kala kedua tangan telah berjumpa dalam hangatnya genggaman, sebuah pesan yang tersirat ialah mengamini adanya perbedaan, karena perbedaan bukanlah sesuatu yang harusnya ditakutkan. Sama seperti mengamini konsep Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tapi tetap satu), alias tak apa-apa berbeda, namun kita tetap sama. Sama-sama manusia yang sekali waktu kadang khilaf, kadang lupa diri dan kadang pura-pura lupa masalah.