Lihat ke Halaman Asli

Detha Arya Tifada

TERVERIFIKASI

Content Writer

Cerita dari Doka

Diperbarui: 15 November 2018   08:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tarian ritual penyambutan masyarakat doka/ sofyan efendi

Perjalanan tahun lalu ke Flores, tepatnya di Desa Doka, Kabupaten Sikka, NTT, mampu memberikan pengalaman yang berharga untuk seumur hidup. Kami tak sengaja diperkenalkan dengan Mahakarya Tersebunyi yang ditawarkan oleh sisi Timur Indonesia. Salah satunya yaitu menyaksikan langsung proses pembuatan kain tenun khas Sikka.

Sebagai awalan, perjalanan tersebut turut pula membawa serta cerita kurang menyenangkan, dilihat dari jaraknya yang cukup jauh hingga memakan waktu 2 jam perjalanan, jalanan rusak, tanjakan yang curam hingga jalanan yang berliku.

Maka kami rasa sudah tepat mengungkap jika pengalaman dapat terwakili oleh pribahasa,"berakit-rakit dahulu, Berenang-renang kemudian," dalam artian bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, mungkin hal tersebut yang mendominasi dipikiran, seraya menemukan alasan yang diungkap melalui lagu rekaan Switchfoot -- Love Alone Is Worth to Fight. "Why you're living and breathing / Why you're fighting it and getting it even/ Let's go headed down the open road unknown.."

Benar saja, sesampainya di tanah Doka, Mata dibuat takjub. Ramainya masyarakat telah terlihat dari kejauhan, seraya menanti kedatangan kami dengan mengadakan upacara penyambutan. Uniknya, kostum yang digunakan bukanlah t-shirt ataupun kemeja kotak-kotak (Just Kidding), tetapi mereka menggunakan baju adat dengan balutan tenun ikat khas Sikka.

Apalagi saat itu rasa-rasanya seluruh warga desa dilibatkan secara penuh untuk upacara ini. Efeknya kepada Kami, rasa bangga langsung muncul kala itu juga, seraya berucap kekaguman "tenyata Nilai-nilai luhur gotong royong tampak terpelihara."

anak-anak doka/ sofyan efendi

Melangkah maju dari teras rumah warga yang luas untuk memarkirkan kendaraan, sekiranya ada 12 perempuan, dan hanya ada 2 orang laki-laki mendatangi kami. Langkah mereka disambut dengan tabuhan alat musik.

Meski malu-malu, kami berjalan langsung menuju tepat ditengah-tengah masyarakat desa Doka. Terlihat seorang pria didiapit oleh dua orang wanita yang membawa selempar daun beserta wadah untuk air. Tampak pula 2 buah tenun ikat Sikka turut dibawanya."kira-kira untuk apa ya?" ungkap kami sembari berbisik.

mama-mama doka/ sofyanefendi

Bunyi gendang membentuk alunan nada tradisional menandakan tradisi penyambutan dimulai. Laki-laki yang dianggap sebagai tetua adat desa, mulai mengambil daun dan mencelupkan ke air. Lalu percikan air tersebut diarahkan kepada kami. Hanya dua lokasi yang menjadi fokus percikan air dari daun. Secara sengaja dikenakan ke arah kepala dan hati. Kemudian, tenun ikat di kalungkan dimasing-masing leher kami.

Tak sampai situ saja, penari yang didominasi perempuan dari berlakang langsung memulai tarian penyambutan yang dikenal dengan nama Moloraru. Oleh masyakarat setempat, tarian ini hanya diperuntukkan untuk menyambut raja-raja, tamu agung dan hanya orang-orang penting.

Namun kini, bukan raja atau tamu penting yang didapat, tapi kami, sekumpulan pemuda yang sehari-harinya hidup di Jakarta dan larut dalam ritme serba cepat. Dapat dikatakan inilah salah satu moment terbaik dalam hidup. betapa tidak, kapan lagi coba bisa jadi raja dalam sehari?

Kami pun sangat menikmati sambutan tersebut, bahkan rasanya ingin langsung ber-terima kasih kepada semua masyarakat Doka atas kerendahan hati mereka yang telah memberi sambutan, selayaknya kami bagian yang tak terpisahkan seperti layaknya keluarga sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline