Sadar diri kita bukan siapa-siapa, jangankan perlengkapan yang memadai, duit berlebih pun tak punya. Untungnya kita kembali diingatkan akan kekuatan impian, berbekal semangat dalam balutan ketulusan, hingga berani berujar, jalur mimpilah salah satunya yang dapat mewujudkan pijakkan kaki pertama ke kota dengan julukan Kota Tinutuan (Manado).
Tak henti-hentinya ucapan syukur terucap, kala pesawat mulai tinggal landas dari ibu kota, otak tanpa dikomandoi oleh rencana langsung menerka-nerka apa saja tantangan yang berada di depan. Mulai dari rincian waktu yang harus diluangkan hingga seberapa besar tenaga yang harus dicadangkan demi menorehkan jejak langkah.
Mulai Manado, Minahasa hingga Tomohon guna mengasah ketangkasan memanjat tebing di Kilo 3 Amurang, menaklukkan ganasnya jeram di sungai Nimanga, merapat ke puncak gunung Mahawu, serta menyelami keindahan bawah laut Bunaken yang telah masyur sejak dulu.
Petualangan baru sudah pasti menjejakkan cerita baru, begitu kiranya kala otak kembali berpikir. Perjalanan pun semakin seru kala dua orang expert dalam bidangnya masing-masing berbaur selama perjalanan. Rahung Nasution yang akrab di telinga dengan penjelajahannya mengarungi Nusantara demi mengetahui dan sekedar berbagi akan cita rasa Nusantara, serta Marischka Prudence yang telah menyelami sebagian besar taman laut yang ada di Nusantara.
Sempat bertanya dalam hati kenapa Tebing Kilo Tiga yang berlokasi di Desa Kilometer 3, Amurang, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, yang menjadi tantangan hari pertama guna memompa adrenalin. Ternyata tebing tersebut ketika diperhatikan secara saksama akan membawa kesan unik, tebing tersebut tak seperti tebing lain pada umumnya, batu dinding justru memiliki permukaan seperti jajaran balok yang tersusun terbalik.
Meski saat itu sore hari telah menyapa dikarenakan jarak dari Bandara Sam Ratulangi menuju lokasi mencapai 60 Km, semangat yang meninggi seraya memaksa dinding batu untuk segera ditaklukkan. Malu rasanya telah jauh-jauh melangkah jika hanya membawa bekal berupa kegagalan menggapai puncak. Hal ini bukan hanya ego belaka, setiap orang pasti pernah berada dalam lingkaran antara ego dan adrenalin memacu. Ketika keduanya bergabung maka sebuah target muluk-muluk langsung ditentukan.
Seorang pegiat rock climbing yang kebetulan memandu kita menaklukkan tebing ini pun mengatakan, kalau tebing ini telah dipersiapkan untuk segala hal, baik skala hanya latihan hingga skala lomba dengan tingkatan kemampuan panjat tingkat dewa. Terbukti dengan ragam jalur telah ada, nama jalur juga terbilang unik dengan pemberian nama yang khas, beberapa di antaranya ialah Jalur Malaria yang pada saat menemukan jalur tersebut para pemanjat terserang penyakit malaria, serta jalur ratapan yang telah dikuduskan sebagai jalur tersulit ditaklukkan, karena setiap pemanjat akan menguji hampir seluruh kemampuannya baik dari segi stamina, pikiran dan tenaga.
Bagi diri pribadi melihat tebingnya saja, nyali sempat ciut dibuatnya, belum lagi batu-batu kecil yang setiap kali dipanjat siap menebar ancaman dengan menjatuhkan diri. Biar kata adanya jargon dari sebuah produk terkenal 'safety can be fun', namun untuk pengalaman rock climbing di tempat ini, rasanya tak berlaku. Menggapai puncak bukan cuma perkara hati-hati, terlebih lagi hal tersebut mutlak membutuhkan ada sebuah keberanian yang mampu membakar adrenalin hingga menghasilkan bahan bakar berupa semangat.
Untuk pemula seperti kita, jalur standar dan belum memiliki nama menjadi tempat di mana kedua tangan dan kaki memainkan perannya. Meski jalur yang dipersiapkan relatif muda, tetap saja pada awalan menjadi cukup sulit dilalui, pikiran serta tenaga yang belum terbiasa dengan aktvitas panjat tebing menjadi kendala. Belum lagi kurangnya pengetahuan tentang alat yang digunakan, sehingga penggunaannya kurang maksimal.
Semisal tali carmanel, harnest (alat pengikat tubuh), carabiner, helmet, sepatu panjat, serta calk bag yang berisi MgCo3 (Magnesium Carbonat) yang berfungsi agar tangan tak licin selama pemanjatan. Mengetahui saja nama alat-alat tersebut membuat hati dilanda kebahagiaan, meski tak bisa mencapai puncak yang ditentukan pada hari pertama, maka keesokan harinya menjadi judgement day. Oleh karena semangat tersebut tenaga yang terkuras habis diisi dengan makan bersama ditemani api unggun serta beristirahat di tenda tak jauh dari dinding tebing dengan tinggi mencapai 90 meter.
Sengaja bangun pagi hari demi memanaskan suhu tubuh sebelum menjajal kembali tebing, ternyata jalur pemanjatan tebing yang dicoba berubah ke Jalur Putri, jalur yang dianggap paling mudah ditaklukkan. Segera merapatkan barisan menuju tebing dan menjadi yang paling awal mencoba, ternyata jalur tersebut cukup mudah dilalui, tak ada kendala berarti yang membuat langkah terhenti. Meski begitu tetap saja mampu membuat jantung berdenyut kencang.