INDAHNYA KERUKUNAN DAN NILAI TOLERANSI YANG TINGGI DALAM KEMAJEMUKAN DI DESA CANDIGARON
Jalan yang naik turun merupakan ciri khas daerah dataran tinggi, dan panorama alamnya yang indah adalah anugerah Tuhan yang diberikan kepada wilayah Desa Candigaron, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang Jawa Tengah.
Siang itu saya berniat dari kediaman bapak Kadus berjalan-jalan memutari desa Candigaron, dengan ditemani rintik hujan yang lumayan syahdu, dan membuat suasana siang hari pun terasa pagi hari, saya dan salah satu teman sebaya saya menjumpai beberapa bangunan tempat peribadatan berbagai agama, Minggu, (24/10/2021).
Jaraknya pun tidak terlalu jauh, kurang lebih sekitar 1 kilometer. Pemandangan tersebut akan terkesan aneh bagi orang yang terbiasa hidup dalam desa homogen contohnya saja seperti saya.
Replika atau miniatur kebinekaan Indonesia, julukan tersebut sepetinya pantas bagi desa dengan beragam keyakinan penduduknya. Setidaknya terdapat enam agama dalam desa ini, yakni Islam, Kristen, Katolik, Budha dan dua kepercayaan leluhur, yakni Sapta Darma dan Ngestika Sampornan.
Ketika Indonesia sedang santer-santernya dengan isu toleransinya yang terlihat mulai memudar dan secara tidak sadar terkikis, masyarakat di Desa Candigaron malah sudah final dengan persoalan perbedaan keyakinannya.
Istilah toleransi bukan lagi menjadi sebuah teori untuk menjaga kerukunan, akan tetapi bagi warga di Desa Candigaron sudah menjadi darah daging yang melekat di hati setiap penduduknya. Hal tersebut terlihat dari guyup, srawungan dan rukun antar warga desa meskipun berbeda kepercayaan ataupun agama.
“Warga disini terbiasa saling guyup dalam setiap kegiatan, pada saat hari raya idul fitri pun warga non muslim ikut takbir keliling dan silaturrahmi ketetangga-tetangga layaknya kebiasaan orang muslim usai salat ied, tapi ya salatnya tetap tidak ikut serta jika ada tahlilan saja warga non muslim mengikuti namun tidak dengan membaca bacaan yang biasa orang muslim baca” tutur bu Srihatun
Toleransi memang selalu melahirkan indahnya kerukunan. Salah satu buktinya adalah ibu dua anak tersebut yang beragama Islam, ia pernah melakukan sedekah kepada tempat-tempat ibadah, tidak hanya masjid, akan tetapi termasuk juga Vihara, Sanggar dan Gereja pada waktu pra acara pernikahan anaknya. Alasannya sangat sederhana, ia hanya mengamalkan ajaran agamanya yang menyuruhnya untuk berbagi dengan sesama manusia, yang ia ketahui dari seorang ustad dan kyai.
“Kita mati kan meninggalkan amal budi, dan amal budi itukan dibawa sampai mati, bukan harta dan kejayaan. Maka dari itu, untuk soal kebutuhan hidup seorang manusia pasti akan terus merasa kurang dan kurang, oleh karena itu setidaknya kita hidup itu sedikitnya meninggalkan amal budi walaupun seujung kuku.” tutur perempuan beranak dua tersebut.
Masyarakat di wilayah desa Candigaron adalah masyarakat yang dewasa menurut saya dalam menerima berbedaan, yaitu pluralistik dimana artinya keadaan yang lumrah dibenak mereka, yang terpenting adalah kejelasan sebuah kepercayaan atau agama yang dianut oleh masing-masing warga. Bukan pengakuannya Islam tapi ibadahnnya di sanggar atau gereja, itu yang akan menjadi permasalahan di sini.