Beberapa waktu yang lalu, media-media di Indonesia diramaikan oleh 5 Mahasiswa UI yang mengajukan gugatan ke MK terkait UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Seperti diketahui, salah satu pemohon, yaitu mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Anbar Jayadi dan empat orang temannya dari alumni FH UI mengajukan uji materi (judicial review) terkait UU Pernikahan, yang dianggap dianggap telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia. UU yang dimaksud, yaitu Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974, yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu“. Mereka meminta agar MK memutuskan UU yang disebutkan dalam gugatannya itu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 karena tidak punya kekuatan hukum yang mengikat.
Kecenderungan manusia untuk hidup berpasangan adalah naluriah. Naluri sendiri sebenarnya lahir karena adanya stimulus, berupa lawan jenis dan persepsi seseorang terhadap lawan jenisnya. Aktivitas yang dilandasi dengan pemikiran yang benar akan mampu mengendalikan naluri yang bergejolak dalam diri manusia. Naluri berasal dari Sang Pencipta, karenanya harus dikendalikan pula oleh aturan dari Sang Pencipta agar diperoleh pemuasan yang terkendali pula. Jika tidak, yang terjadi adalah kekacauan karena landasannya adalah nafsu.
Alih-alih menyelesaikan masalah, justru jika gugatan ini sampai dikabulkan akan menimbulkan masalah-masalah baru. Tidak menutup kemungkinan dengan alasan HAM dan sebagainya, akan banyak lagi pihak yang menuntut pernikahannya dilegalkan. Pernikahan sedarah, pernikahan sejenis dan praktik perzinaan yang lain akan minta dilegalkan. Permasalahan tentang nasab dan waris akan menjadi masalah ikutan apabila gugatan ini sampai dikabulkan.
Standar berpikir yang benar bagi seorang Muslim adalah menggunakan kaidah Islam. Bukannya ‘main tabrak’ rambu-rambu yang dilarang. Apalagi jika menggunakan dalih HAM dan kebebasan untuk menghalalkan apa yang sudah diharamkan. Bagi laki-laki seorang Muslim, menikah dengan wanita Musyrik, seperti penganut Hindu, Budha, aliran kepercayaan, jelas tidak boleh. Menikah dengan wanita Ahli Kitab, seperti penganut Yahudi maupun Nasrani, ada yang mengharamkan dan ada yang membolehkan. Meski ada yang membolehkan, tetapi kondisi saat ini sangat sulit bagi laki-laki Muslim untuk menjaga keluarganya agar tetap menjadi Muslim, ketika pasangannya Ahli Kitab. Sedangkan bagi wanita Muslimah, baik dengan pria Musyrik maupun Ahli Kitab, sama-sama haram.
Pangkal dari semuanya ini adalah justru karena hilangnya Islam sebagai pedoman dalam kehidupan. Islam tidak lagi dijadikan kaidah berpikir dan sumber hukum, karenanya muncul pemikiran yang bebas dan tidak mau terikat Islam. Maka tidak aneh jika pelanggaran-pelanggaran seperti berzina atau melanggar aturan agama minta supaya dilegalkan. Karena itu, dalam hal ini negara harus benar-benar menjadikan posisinya sebagai pondasi yang kokoh untuk menjaga warga negaranya dari hal-hal yang menjerumuskan akibat ‘berseliweran’nya pemikiran bebas dari sistem sekuler-liberal yang dicekoki Barat. Dengan demikian, Islam harus menjadi sistem yang diterapkan di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H