Tepat pada 1 Desember yang biasa diperingati sebagai hari AIDS sedunia. Berbagai peringatan dilakukan sebagai upaya penanggulangan penularan HIV/AIDS yang kian hari kian merebak. Berdasarkan sumber dari Ditjen PP & PL Kemenkes RI dalam laporan statistika HIV/AIDS di Indonesia, jumlah HIV & AIDS yang dilaporkan 1 Januari s.d. 30 September 2014 adalah sebanyak 22.869 orang mengidap HIV dan 1.876 orang mengidap AIDS. Bahkan, secara kumulatif HIV/AIDS 1 April 1987 s.d. 30 September 2014, adalah 150.296 mengidap HIV, 55.799 orang mengidap AIDS, dan sebanyak 9,796 orang meninggal akibat HIV/AIDS (www.spiritia.or.id).
Banyak upaya-upaya yang dilakukan sebagai peringatan untuk menahan laju penderita HIV/AIDS dan solusi praktis untuk menghindari penyakit mematikan itu, misalnya mewaspadai penggunaan narkotika yang dianggap sebagai sarana efektif dalam penyebarluasan penyakit yang menyerang imun itu. Bahkan pada tahun lalu Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) bersama DKT Indonesia dan Kementerian Kesehatan menggelar Pekan Kondom Nasional (PKN) pada 1 - 7 Desember berupa pembagian kondom secara gratis pada acara tersebut sebagai wujud kepedulian terhadap HIV dan AIDS. Namu, program kondomisasi itu akhirnya dihentikan sebelum berakhirnya kegiatan karena menuai protes dimana-mana. Sebab, bagaimana pun kondomisasi tidak menyelesaikan akar masalahnya. Kondom tidak mampu menangkal penularan virus HIV/AIDS, sebab ukuran pori-pori kondom jauh lebih besar dari ukuran virus HIV. Jelas virus HIV sangat mudah bebas keluar masuk melalui pori-pori kondom. Lebih dari itu, kondomisasi justru mensponsori seks bebas. Para pelaku justru mendapat pembenaran untuk melakukan perzinaan. Toh, yang penting dilakukan dengan aman (pakai kondom), pikir mereka.
Perilaku dan kehidupan seks bebas merupakan penyebab utama dari penyebaran dan peningkatan menularnya HIV/AIDS. Lalu muncul pertanyaan, mengapa perilaku dan kehidupan seks bebas sebagai penyebab utama penyebarluasan virus HIV/AIDS tidak dipersoalkan? Alasannya tentu karena perilaku seks bebas adalah salah satu perilaku yang dijamin dalam sistem demokrasi, sebagaimana yang diberlakukan di Indonesia saat ini. Di Indonesia, misalnya, salah satu buktinya adalah tidak adanya UU yang bisa menjerat pelaku perzinaan. Yang ada adalah pasal dalam KUHP yang terkait dengan delik pemerkosaan. Artinya, selama hubungan seks di luar nikah alias zina dilakukan suka sama suka maka hal itu tidak masalah. Wajar saja jika lokalisasi pelacuran di berbagai tempat kerap dilegalkan.
Karena itu, satu-satunya solusi untuk mencegah penyebaran virus HIV/AIDS adalah dengan tindakan pencegahan (preventif) atas perilaku seks bebas dan tindakan kuratif untuk memberantas yang sudah ada. Hal itu hanya dapat dilakukan dengan meninggalkan demokrasi dan sistem sekuler yang memang memberikan jaminan atas kebebasan berperilaku, termasuk seks bebas. Sebagai gantinya ialah memberlakukan hukum Islam secara tegas, antara lain hukuman cambuk atau rajam atas para pelaku seks bebas (perzinaan). Semua itu hanya bisa dilakukan secara sistematis melalui penerapan sistem Islam dengan syariahnya. Islam mewajibkan negara menanamkan keimanan dan membina ketakwaan dan rasa takut terhadap azab Allah swt dalam diri atas kejinya perbuatan zina (QS. al-Isra’ [17]: 32). Juga harus dipahamkan, zina dan seks bebas merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan nilai-nilai keluarga. Individu yang takwa, kontrol masyarakat, dan negara yang menegakkan hukum-hukum Allah swt adalah komponen yang sangat dibutuhkan agar seks bebas dapat diputus dan diakhiri. Maka hanya sistem Islam sajalah yang bisa menyelamatkan masyarakat dari seks bebas dan berbagai akibatnya diantaranya penyakit menular termasuk HIV/AIDS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H