Lihat ke Halaman Asli

Desy Marianda Arwinda

flight through writes

Paradoks dan Hari-Hari Perayaan Festival Sastra

Diperbarui: 17 Juni 2023   00:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pinterest.com/SeattleMindsetLifeCoach/

"Pulang jam berapa malam ini, dek?"

Pertanyaan serupa diempat hari berturut-turut. Pesan tanya itu bernada khawatir, pikirku. Aku menimbang-nimbang jawaban, sepertinya aku tidak bisa pulang pada pukul sembilan malam atau pukul sembilan tiga puluh seperti tiga hari sebelumnya. Situasinya tidak memungkinkan, apalagi ini malam terakhir. Rasanya tidak ingin buru-buru berpisah, tidak ingin buru-buru menanggalkan jejak. Tahun depan terasa begitu panjang jika dinantikan sekarang, apalagi jika dinanti dengan kerinduan. Satu-satunya agenda festival yang masih tersisa ketika aku membaca pesan tanya kakak sulung, ya tentu memilah sampah. Disela memilah sampah organik, kertas, plastik, puntung rokok dan sampah-sampah residu, aku mengetik balasan untuk pulang pukul sebelas malam.

"Bisa minta tolong jemput kak?"

Permintaan serupa dengan tahun lalu di malam terakhir festival. Permintaan dijemput padahal aku tahu jika kakakku adalah pengendara yang tidak kenal pelan-pelan kecuali saat lampu merah menyala. Pikiran dan nyawa kuizinkan terbang dan bertabrakan dengan angin malam. Kencang tapi menenangkan.

Pukul sebelas lewat lima belas, notifikasi WhatsApp muncul di layar gawaiku. Tangan kiriku memegangi gawai dan tangan kanan sibuk memegangi karung berisi dosa-dosa lingkungan seusai festival sastra dihelat. Aku membasuh kedua tanganku terlebih dahulu, memastikan agar tak ada noda dan bau sampah yang tersisa. Lalu langkahku kupercepat menuju parkiran. Seusai menyaksikanku tiba di hadapannya, kakak sulung menyodorkan sebuah helm berwarna merah jambu dengan motif kupu-kupu. Kami melesat dari jalan Ujung Pandang malam itu tanpa percakapan yang panjang, aku masih menahan sesuatu di kepalaku.

"Kak, aku resign sebagai copywriter di kantor"

Belum ada tanggapan, aku menggigit bibir bawahku. Entah dia mendengarkan atau tidak ataukah sedang menimbang-nimbang jawaban. Jeda pernyataanku dan tanggapan yang kunantikan dari kakakku semakin menyita waktu dan dingin mulai menusuk jemari kakiku, malam itu aku mengenakan sandal gunung tanpa kaus kaki.

"Kamu pantas dapat yang lebih baik, dek"

Tanggapannya diluar prediksiku. Saat aku kegirangan mendapatkan pekerjaan itu, kakakkulah orang pertama yang paling sadis mengkritikku, aku pikir ia tak mendukungku sama sekali.

"Temukan tempat yang mampu menghargai tulisanmu."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline