Lihat ke Halaman Asli

Gayus dan Kegagalan Reformasi

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus Gayus Tambunan yang mencuat beberapa pekan lalu, hanyalah cerminan satu dari sekian banyak “gayus-gayus lain” yang bersarang di negeri kita. Alih-alih menjadi public servant, mereka justru menjadi rent seeker dengan kekuasaan dan wewenang yang dimilikinya. Maka tidak heran jika sebagian masyarakat berpendapat bahwa itu hanyalah nasib apes yang “kebetulan” menimpa Gayus, sebelum kasus serupa lainnya mungkin juga akan terungkap.

Kasus gayus dan korupsi lainnya menggambarkan bagaimana birokrasi kita berjalan. Departemen Keuangan sebagai pioneer reformasi birokrasi belum dapat membuktikan keberhasilannya dan justru sebaliknya, seolah semakin memperkuat opini bahwa reformasi identik dengan peningkatan remunerasi semata. Ada benarnya memang, karena toh sampai saat ini kita tidak melihat signifikansi reformasi terhadap peningkatan kinerja dan kualitas layanan publik. Menaikkan gaji tanpa memperhatikan faktor kinerja pegawai tidak akan efektif bagi peningkatan kinerja birokrasi secara keseluruhan. Bahkan sebaliknya, gaji yang dinaikkan hanya akan menyebabkan inefisiensi dan pemborosan anggaran negara. Apalagi ditambah kasus korupsi yang tidak kian meredup.

Pegawai negeri sebagai pelaksana birokrasi tentunya memegang peranan penting dalam menggerakkan birokrasi itu sendiri. Maka dari itu, reformasi kepegawaian sebagai subsistem dari reformasi birokrasi sudah selayaknya menjadi prioritas demi terwujudnya reformasi yang menyentuh semua aspek. Namun, sampai saat ini tidak kita lihat bentuk dan strategi nyata dari pelaksanaan reformasi kepegawaian itu. Bahkan, reformasi berjalan parsial, tidak ada sistem yang terintegrasi. Mengutip istilah Boediono, setiap instansi “memainkan musiknya” sendiri-sendiri dengan irama yang berbeda, sehingga tidak enak didengar. Dan inilah yang terjadi dengan nasib reformasi di negeri ini, tidak jelas arah dan strateginya.

Langkah reformasi birokrasi memang tak semudah membalikkan telapak tangan, karena pada dasarnya perubahan sistem harus dibarengi dengan perubahan pola pikir dan pola budaya aparatur negara yang notabene belum memiliki kultur sebagai pemberi layanan. Secara objektif, reformasi yang dilakukan pada tataran rekruitmen, pelatihan, promosi, kompensasi hingga pemberhentian masih terkendala banyak hal yang sebagian besar terkait dengan kekuasaan dan kepentingan politik individu atau kelompok tertentu. Maka dari itu, perlu adanya langkah berani dari pihak pemerintah dengan mengesampingkan kepentingan-kepentingan politik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline