Lihat ke Halaman Asli

Di Mana Unggah-ungguh Berbahasa Jawa Sekarang?

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru baca status twitter temen saya yang kurang setuju karena melihat orang tua yang berbicara dengan anaknya dengan bahasa Jawa. Bukan bahasa Jawanya yang disalahkan, tapi penggunaan bahasanya yang dipermasalahkan. Si orang tua menggunakan basa ngoko pada anaknya yang masih kecil. Memang dalam unggah-ungguh basa Jawa kalau orang tua berbicara kepada orang yang lebih muda boleh memakai basa ngoko, tapi ini kan anaknya sendiri dan masih kecil. Sebagai orang tua yang hidup di Jawa dan menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya, sebaiknya mengajarkan basa kepada anaknya itu menggunakan basa krama atau minimal menggunakan basa ngoko alus.

Saya juga pernah menjumpai interaksi antara orangtua dan anak, dan ketika itu si anak menggunakan basa ngoko lugu (lugu banget -..-), saya saja yang mendengarkan hanya bisa nggumun dan gedheg-gedheg, risih sih dengernya, miris juga. Oh atau mungkin hanya saya yang agak berlebihan menanggapinya itu? Atau memang efek dari kecil saya diajari berinteraksi dengan basa krama oleh orang tua saya, jadi mendengar peristiwa tersebut membuat saya cukup "menghela nafas". Saya jadi ingat kalau setiap saya menjawab panggilan orang tua saya dengan "napa?", bapak/ibu saya tetap memanggil nama saya sampai saya menjawab "nggih" atau "dalem", hehehe lucu sih tapi ada nilainya :)..

Dalam status twitter teman saya juga mengungkapkan kalau orang tua si anak kecil tsb meng-kowe-kan anaknya (menyebut anaknya dengan kowe). Dan teman saya juga menulis "Mbok ya panggil nama, atau panggil "dik" aja...", dan lagi-lagi saya menyetujui pernyataan teman saya itu, kenapa? Karena kalau dari kecil dibiasakan "seperti itu", kemungkinan besar si anak juga akan menggunakan bahasa yang digunakan orang tuanya itu pula. Ya alangkah baiknya memang kalau menyebut anaknya dengan nama atau dengan embel-embel dik/mas/mbak.

Padahal menurut pengamatan saya (kepada diri saya sendiri, hehe), semakin bertambah umur itu basa krama penggunaannya semakin sedikit, dan basa krama saya pun sekarang pating plethot :(. Nggak tahu kenapa ya, atau mungkin cuma saya saja yang ada diposisi ini. Ya memang seharusnya semakin dewasa kan semakin baik kualitas hidupnya, bukan semakin memburuk begini.

Alangkah baiknya jika mengajarkan anak dari kecil dengan menggunakan basa krama, karena anak juga tidak hanya berinteraksi dengan orang tuanya, tapi juga dengan masyarakat luas. Pilihan lain jika memang tidak bisa mengajarkan basa krama lebih baik menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar (bukan alay,hehe). Tapi jika suatu saat si anak beranjak remaja-dewasa dan harus berinteraksi dengan orang Jawa yang sudah tua dan hanya bisa mengerti bahasa Jawa, kan kojur. Tidak ada salahnya kan sebagai orang Jawa menggunakan unggah-ungguh basa Jawa yang telah diajarkan sejak kita belajar ngomong? Selain sebagai tata krama berinteraksi, juga sebagai tanda kita mencintai budaya Jawa. Jadi, jika kelak nanti kita atau bagi yang sudah berkeluarga dan mempunyai putra/putri dan menggunakan bahasa Jawa dalam interaksi kita sehari-hari, sebaiknya si anak diajarkan basa Jawa krama deh atau (jika perlu) harus diajarkan, agar tidak terjadi "wong Jawa ilang Jawane".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline