Lihat ke Halaman Asli

Desy Pangapuli

Be grateful and cheerful

Pertama di Asia, Indonesia Segera Sahkan Publisher Rights

Diperbarui: 17 Februari 2023   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://tugubandung.id/

Seolah sentil Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Presiden Joko Widodo pada Puncak Peringatan Hari Pers Nasional Tahun 2023 di Medan, Sumatera Utara, Kamis, 9 Februari 2023 lalu menyatakan keprihatinannya terkait 60 persen belanja iklan diraup oleh media digital platform asing.

"Keberlanjutan industri media konvensional juga menghadapi tantangan berat.  Saya mendengar banyak mengenai ini, bahwa sekitar 60 persen belanja iklan telah diambil oleh media digital terutama platform-platform asing," kata Jokowi dalam sambutannya pada Puncak Peringatan Hari Pers Nasional Tahun 2023 di Medan, Sumatera Utara, Kamis, 9 Februari 2023.  Dikutip dari: tempo.com

Walaupun tidak dipungkiri menurut Presiden Jokowi, Menkominfo telah mengajukan izin prakarsa rancangan Perpres tentang kerjasama perusahaan platform digital dengan perusahaan Pers.  Tetapi, bagaimana dengan kondisi belanja iklan?  Bagaimana dengan kondisi di lapangan ketika pada 2022 Tik Tok secara global berhasil meraup iklan hingga tembus Rp 158 triliun.  Sementara total belanja iklan media di Indonesia hanya Rp 135 triliun pada tahun yang sama.  Namun itupun riilnya berujung lari ke platform asing.

Ini jelas ngeri-ngeri sedap!  Bukan disentil, tetapi inilah keprihatinan bersama.  Sebab di era serba digital hal seperti ini tidak bisa dikatakan baik-baik atau aman saja.  Begini, katakanlah media tradisional, semisal iklan di luar ruangan, koran dan radio terancam kalah bersaing dengan Tik Tok, Facebook atau bahkan iklan pada Google Search.  Inilah konsekuensi di tengah kemajuan zaman!  Tidak dapat menghindar dari kompetisi, harus dihadapi!

Tetapi, apa iya bisa dibenarkan dan dibiarkan saja platform asing mendominasi?  Hidup merdeka di ruang digital Indonesia?  Apakah ini adil untuk media konvensional, dan juga jurnalistik Indonesia?  Apa ini bukan namanya kita "sukarela" membiarkan diri dijajah secara digital?

Gayung bersambut kabar datang dari Kominfo mengatakan segera akan merealisasikannya pemikiran Presiden Jokowi.  Tidak hanya itu, bahkan ternyata Indonesia akan menjadi negara pertama di Asia yang mengatur platform digital global melalui rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Publisher Rights atau dikenal juga sebagai Hak Penerbit Jurnalistik.  Regulasi serupa sebelumnya telah dilakukan oleh negara Australia.

"Kalau kita punya regulasi (publisher rights) nanti, akan menjadi negara kedua setelah Australia. Di Asia belum ada, malah negara-negara di Asia sedang mengintip Indonesia," papar Usman Kansong selaku Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kementerian Kominfo, Jakarta, Rabu (15/2).  Dikutip dari:indonesiatech.id

Ketar-ketir pun kini mulai dirasakan sejumlah platform asing.  Kenapa?  Sebab Publisher rights adalah regulasi yang mengatur platform digital global, seperti Google sampai Facebook, untuk bekerjasama dengan media, salah satunya membayar konten berita.

Yup!  Hal yang selama ini lalai disoroti di tengah pesatnya pertumbuhan digital.  Lihat saja, ramainya wara-wiri di Tik Tok, Instagram, ataupun di Facebook.  Jika demikian siapa yang diuntungkan, tidak lain adalah platform digital tersebut!  Padahal notabene adalah platform asing!  Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan media konvensional?

Benar media digital jauh lebih hidup, lebih interaktif!  Pun sudah bukan rahasia lagi internet sudah menjadi kebutuhan.  Bahkan mengubah prilaku manusia dalam berinteraksipun melibatkan internet, atau dengan kata lain serba digital!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline