Ehmm.....ada persoalan klasik di setiap tahun penerimaan mahasiswa baru Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Bayangkan hingga detik ini masih saja sulit untuk tidak tergiur pada "Jaket Kuning" UI ataupun "Jaket Kampus Biru" UGM. Walaupun tidak sepenuhnya salah sih asal bercermin dan sadar diri. Kocaknya ada yang gelap mata. Ngasal pilih jurusan, ketimbang mempersiapkan diri sejak dini.
Hahaha.....Asal bisa berjaket kuning UI maka selesai persoalan. Asal bisa memakai almamater UGM, maka mantaplah sudah! Bahkan bukan hanya si anak bahagia sundul langit. Tetapi seluruh keluarga besar sorak-sorai! Tetapi apakah itu intinya? Padahal, dimulai perkuliahan saja belum. Lha...kok merasa sudah selesai?
Hahahh...lha...lalu bagaimana dengan jurusannya? Tunggu! Justru disinilah kerancuannya. Lebih penting jaketnya, ataukah program studi (prodi)? Padahal sekali memilih dan diterima, bukankah harus dijalani hingga lulus? Tepatnya, harus konsisten dan komit!
Namun, cerita berulang terjadi. Termasuk saat ini pada penerimaan mahasiswa baru tahun 2023 yang bahkan tahun ini tambah sedap gurih. Kenapa? Sebab "Mas Menteri" Nadiem Makarim Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengeluarkan kebijakan baru yang tertuang pada Permendikbud Nomor 48 Tahun 2022. Selain mengganti istilah jalur prestasi atau undangan yang dulu dikenal sebagai Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) menjadi Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP). Kemudian untuk istilah Seleksi Bersama Masuk PTN (SBMPTN) menjadi SNBT atau Seleksi Bersama Berdasarkan Tes.
Sebenarnya mengenai istilah tidaklah mengubah esensi. Secara global sistem penerimaan mahasiswa baru masih sama, yaitu:
- Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP)
Pada penerimaan tahun ini penilaian melalui dua komponen. Pertama, penilaian yang dihitung berdasarkan rata-rata nilai rapor seluruh mata pelajaran paling sedikit 50 persen dari dari bobot penilaian. Kedua, penilaian yang dihitung berdasarkan nilai rapor paling banyak dua mata pelajaran pendukung program studi yang dituju, portofolio, dan atau prestasi paling banyak 50 persen dari bobot penilaian. Selain itu juga ditentukan oleh kuota sekolah yang bersangkutan. Di mana untuk akreditasi A: 40%, akreditasi B: 25% dan akreditasi C dan lainnya: 5% terbaik di sekolah bersangkutan. - Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT)
Pembeda dengan tahun sebelumnya, sbb:- Pada SNBT tidak ada Tes Kemampuan Akademik (TKA). Nantinya para calon mahasiswa hanya diujikan Tes Potensi Skolastik (TPS) saja yakni penalaran. Terlihatnya demikian, walau tidak sepenuhnya. Kenapa? Sebab pada TPS tercium "aroma" muatan "akademik" tersamar pada penalaran sesuai jurusan yang dipilih. Tidak salah sih, namanya juga TPS menyangkut kemampuan penalaran.
- Para calon mahasiswa diizinkan memilih lintas jurusan. Sebagai contohnya, anak IPA diperboleh memilih Fakultas Hukum. Demikian juga anak IPS diizinkan memilih Fakultan Kedokteran. Jujur ngilu, dan kembali kepada kesiapan masing-masing saja.
- Seleksi secara mandiri oleh PTN
Seleksi dilakukan berdasarkan akademis dan PTN dilarang mengaitkan dengan tujuan komersial. Intinya sekalipun diserahkan kepada kebijakan masing-masing PTN. Namun disini Kemendikbudristek menetapkan sejumlah kewajiban yang harus dilakukan oleh PTN sebelum dan sesudah pelaksanaan tes demi memastikan transparasi.
Bagaimana, cukup gurih bukan? Bisa dibayangkan persaingan tidak saja antar angkatan, dan mereka "kakak" yang gap year 2 tahun diatas. Sehingga artinya ada 3 angkatan bersaing di tahun yang sama. Kemudian ada lintas jurusan yang saling bersaing ketat. Sehingga bukan rahasia lagi UI, UGM, ITB dan beberapa PTN papan atas bakal diserbu laris manis dengan "menghalalkan" rela memilih jurusan apa saja deh, yang penting jaketnya itu loh....!
Uuuppp...sedih deh. Hari begini masih mempersoalkan jaket, dan bukan fokus kepada jurusan? Padahal jurusan adalah minat, dan mengenai masa depan. Harusnya sih begitu cara berpikirnya. Ironisnya, tidak hanya anaknya. Orang tua sekalipun merasa derajatnya naik jika anaknya bisa masuk PTN favorit. Merasa jauh lebih baik ketimbang diterima di PTN lainnya. Padahal semuanya hanya kebahagian semu. Faktanya, setelahnya anak harus mampu bertanggungjawab atas pilihannya tersebut. Ngeri tidak sih?